Usai Imlek, Yield SBN Cenderung Beragam

Jakarta, CNBC Indonesia – Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Indonesia atau Surat Berharga Negara (SBN) terpantau bervariasi pada perdagangan Selasa (24/1/2023), meski ada indikasi bahwa Bank Indonesia (BI) tidak akan menaikkan kembali suku bunga acuannya.

Read More

Sikap investor di pasar SBN RI pun beragam pada hari ini, di mana investor memburu SBN berjangka waktu 5 dan 10 tahun dan cenderung melepas SBN berjangka waktu 15 dan 20 tahun.

Melansir data dari Refinitiv,di SBN tenor 5 dan 10 tahun, mengalami kenaikan harga atau penurunan yield. SBN tenor 5 tahun dan 10 tahun secara bersamaan turun 1,6 basis poin (bp) ke level masing-masing 6,351% dan 6,618%.

Sedangkan di SBN tenor 15 dan 20 tahun mengalami penurunan harga atau kenaikan yield. SBN tenor 15 tahun naik 2,3 bp ke 6,803% dan yield SBN tenor 20 tahun naik 0,5 bp menjadi 6,844%.

Yield yang menurun menandakan bahwa harga SBN sedang mengalami kenaikan. Untuk diketahui, pergerakan harga obligasi berbanding terbalik dengan yield. Ketika yield turun, maka harga akan naik, begitu juga sebaliknya. Saat harga naik, artinya ada aksi beli atau koleksi oleh investor.

Meski pada hari ini pergerakan yield SBN cenderung beragam, tetapi investor asing cenderung masih memburunya.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan RI, pada periode 2 Januari hingga 20 Januari 2023, investor asing mencatatkan net buy atau inflow sebesar Rp 42,1 triliun.

Sedangkan data dari BI, pada periode 16-19 Januari 2023 mencatat ada net buy sebesar Rp 14,49 triliun di pasar SBN. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan pekan sebelumnya (9-12 Januari 2023) yang tercatat Rp 12, 36 triliun.

Impresifnya kinerja pasar keuangan domestik pekan lalu membuat asing masih memburu SBN. Di antaranya adalah data neraca perdagangan dan kebijakan moneter BI.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus neraca perdagangan pada 2022 menembus US$ 54,46 miliar, terbesar sepanjang sejarah.

Secara bulanan, surplus Desember 2022 tercatat US$ 3,89 miliar. Dengan tercatatnya surplus pada Desember 2022 maka neraca perdagangan Indonesia sudah membukukan surplus selama 32 bulan beruntun.

Selain itu, sinyal BI yang tidak akan menaikkan suku bunga acuan lagi juga menjadi kabar gembira bagi pelaku pasar keuangan di Indonesia.

Dengan mengendurnya kebijakan moneter maka pertumbuhan ekonomi diharapkan meningkat sehingga konsumsi masyarakat terjaga.

Gubernur BI, Perry Warjiyo pada pekan lalu mengatakan bahwa kenaikan suku bunga acuan sebesar 225 bp sejak tahun lalu sudah memadai.

“Kenaikan 225 bp adalah yang terukur. Kenaikan secara akumulatif ini memadai untuk memastikan inflasi inti tidak akan lebih tinggi dari 3,7% pada Semester I-2023,” tutur Perry, dalam konferensi pers pengumuman Hasil RDG Januari 2023, Kamis (19/1/2023).

Di lain sisi, pelonggaran kebijakan Covid-19 di China serta melandainya inflasi AS juga membuat pelaku pasar global, termasuk Indonesia cerah.

Seperti diketahui, inflasi AS melandai ke 6,5% (year-on-year/yoy) pada Desember 2022 dari 7,1% (yoy) pada November.

Melandainya iinflasi membuat pelaku pasar optimis jika bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan mengendurkan laju kenaikan suku bunganya.

Berdasarkan polling CME Group Data, menunjukkan bahwa peluang The Fed menaikkan suku bunga 25 bp kini mengarah 100%.

Sebagai catatan, The Fed sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 425 bp sejak Maret 2022 menjadi 4,25-4,50%.

The Fed menaikkan suku bunga secara agresif sebesar 75 bp pada periode Juni, Juli, September, dan Oktober 2022. Kenaikan suku bunga diturunkan sebesar 50 bp pada Desember 2022.

The Fed akan menggelar rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada 31 Januari-1 Februari 2023.

TIM RISET CNBC INDONESIA

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Inflasi Nyaris Sentuh 6%, Investor Justru Buru SBN Hari Ini

(chd/chd)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts