Ternyata Ini Alasan Dolar Terus Perkasa Dihadapan Rupiah

Jakarta, CNBC Indonesia – Mata uang dolar Amerika Serikat (AS) yang terus merangkak naik hingga membuat kebijakan fiskal dan moneter di negara-negara lain ikut bergejolak. Johanna Chua Managing Director, Head of Asia Pacific Economic and Market Analysis Citigroup mengatakan ada beberapa alasan yang membuat dolar cenderung menekan volume perdagangan beberapa negara, tidak terkecuali Indonesia.

Read More

Meski begitu, menurutnya masalah pertama yang membuat dolar AS jadi kuat karena banyak negara yang menggunakan dolar sebagi mata uangnya.

“Dolar yang begitu kuat membuat barang-barang yang dapat diperdagangkan menjadi sangat mahal dan karenanya mengurangi permintaan,” jelas Johanna kepada CNBC Indonesia, Jumat (18/11/2022).

Namun di sisi lain, Johanna juga tidak menafikan jika kadang kala dolar yang terlalu kuat adalah tanda penghindaran risiko.

“Dolar yang kuat pada dasarnya kurang kondusif untuk menghidari risiko, namun kurang menguntungkan untuk aliran modal,” tegas Johanna.

Dampak negatif dolar yang kuat juga bertambah jika ada kewajiban atau utang yang nilainya tidak dilindungi, sehingga jadi naik drastis dan akan membebani. Tidak cuma itu, Johanna juga mengatakan dolar yang kuat, artinya mata uang yang lebih lemah memperkuat nilai tukar yang mengarah pada inflasi.

“Untungnya Indonesia masih mampu mengendalikan inflasi, namun tidak ada yang pasti dalam ekonomi, bahkan ketika harga komoditas tengah melambung, tetap beri perhatian lebih,” saran Johanna.

Menurut Johanna, Bank Indonesia (BI) berhasil memaksa kebijakan moneter yang ketat, langkah untuk menaikan suku bunga demi menjaga perekonomian.

“Indonesia harus menaikkan suku bunga, yang juga akan berdampak pada tingkat pertumbuhan, baik kondisi pendanaan domestik yang berdampak pada transmisi ekonomi,” pungkas Johanna.

Sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK, Mirza Adityaswara menjelaskan, dolar yang merangkak naik disebabkan oleh dua hal, yaitu lonjakan inflasi dan konflik antar negara.
Mirza menjelaskan, usai pandemi Covid-19, pemerintah di berbagai negara melonggarkan pembatasan aktivitas. Hal itu memicu permintaan yang mengakibatkan lonjakan harga yang berujung pada kenaikan inflasi.

Namun, Mirza menikai, yang terjadi di belakangan tahun ini inflasi terjadi karena konflik antar negara seperti Rusia dan Ukraina. Hal itu memicu harga komoditas tambang seperti minyak, batu bara, gandum, dan pupuk meningkat pesat.

“Obatnya memang harusnya menambah suplai, tapi karena suplainya nggak bisa ditambah banyak sehingga yang harus dilakukan adalah menekan permintaan,” ujarnya dalam acara CNBC Indonesia, (11/11/2022).

Dalam menekan permintaan, lanjut Mirza, bank sentral di berbagai negara melakukan pengetatan moneter. Hal itu yang menyebabkan suku bunga di berbagai belahan dunia mengalami kenaikan. “Untuk mengatasi problem inflasi ini. Suku bunga AS meningkat cukup pesat. Sebagai mata uang yg memang menjadi mata uang dunia, maka ini yg memang terjadi sebagai strong dolar,” ungkapnya.

“Jadi dolar bukan hanya menguat terhadap rupiah tapi berbagai valuta asing di dunia. Kalau pelemahan rupiah dibandingkan pelemahan mata uang lain relatif tidak banyak dibandingkan mata uang lain terhadap dolar,” pungkasnya.

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Rupiah Nyaris Rp 15.000/US$, Begini Suasana Money Changer

(tep/ayh)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts