gep-indonesia.org

Surplus Transaksi Berjalan Bikin Rupiah Kuat, Sampai Kapan?

Jakarta, CNBC Indonesia – Transaksi berjalan (current account) Indonesia mampu mencatat surplus sepanjang 2022, yang memberikan sentimen positif ke rupiah. Meski demikian, penguatan rupiah melawan dolar Amerika Serikat (AS) juga tidak terlalu besar.

Melansir data Refinitiv, rupiah menguat 0,3% ke Rp 15.155/US$ di pasar spot.

Bank Indonesia (BI) mencatat surplus transaksi berjalan tahun 2022 naik signifikan mencapai 13,2 miliar dolar AS atau 1,0% dari PDB. Angka surplus ini lebih tinggi dibandingkan dengan capaian surplus tahun 2021 sebesar 3,5 miliar dolar AS atau 0,3% dari PDB.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO RESUME CONTENT

Kepala Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono mengungkapkan kinerja tersebut terutama didukung oleh peningkatan ekspor sejalan dengan harga komoditas global yang masih tinggi dan permintaan atas komoditas Indonesia yang tetap baik, di tengah impor yang juga meningkat seiring perbaikan ekonomi domestik.

“Sementara itu, transaksi modal dan finansial tahun 2022 mencatat defisit 8,9 miliar dolar AS seiring dengan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global,” katanya Erwin.

Dengan perkembangan tersebut, NPI secara keseluruhan tahun 2022 kembali membukukan surplus sebesar 4,0 miliar dolar AS, setelah pada tahun sebelumnya mencatat surplus 13,5 miliar dolar AS.

Sejalan dengan ini, Transaksi berjalan pada akhir triwulan IV juga kembali mencatat surplus sebesar 4,3 miliar dolar AS atau 1,3% dari PDB, tetapi capaian surplus sedikit melambat pada triwulan sebelumnya sebesar 4,5 miliar dolar AS atau 1,3% dari PDB.

“Kinerja transaksi berjalan tersebut bersumber dari surplus neraca perdagangan nonmigas yang terjaga, didukung oleh harga komoditas ekspor yang tetap tinggi,” ujar Erwin.

Penguatan rupiah tidak terlalu besar sebab meski transaksi berjalan surplus yang ditopang oleh neraca perdagangan yang surplus 33 bulan beruntun, devisa hasil ekspor (DHE) tidak berada di dalam negeri. Artinya, di atas kertas surplus, tetapi duitnya di luar negeri.

Hal ini yang membuat rupiah masih kesulitan menguat. Dengan pasokan valas yang tiris tercermin dari kondisi cadangan devisa, saat permintaan dolar AS sedang tinggi maka rupiah akan tertekan.

Di sisi lain, tekanan dari eksternal kembali besar, sebab bank sentral AS (The Fed) diprediksi akan menaikkan suku bunga dengan agresif lagi tahun ini.

Pasar melihat The Fed akan menaikkan suku bunga 3 kali lagi di tahun ini, pada Maret, Mei dan Juni masing-masing 25 basis poin. Probabilitas kenaikan pada Juni pun lumayan tinggi, 53%, berdasarkan data perangkat FedWatch milik CME Group.

Jika terealisasi, maka suku bunga The Fed pada Juni akan mencapai 5,25% – 5,5%, lebih tinggi dari proyeksi The Fed 5% – 5,25% dan bakal dipertahankan dalam waktu yang lama, higher for longer.

CEO JPMorgan, Jamie Dimon pada Januari lalu bahkan menyatakan The Fed mungkin perlu menaikkan suku bunga hingga ke level 6% untuk melawan inflasi

“Inflasi tidak akan turun seperti yang diharapkan orang,” katanya. “Tapi yang pasti akan turun sedikit.”

Jika kondisinya masih urung membaik, Dimon berpendapatan The Fed dapat mulai menaikkan suku bunga pada kuartal keempat dan menyebut kenaikan suku bunga acuan tersebut “mungkin saja 6%.”

Semakin kuat ekspektasi The Fed agresif, maka tekanan bagi rupiah akan semakin besar.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Terkapar Lawan Dolar AS, Rupiah Dekati Level Rp 15.600/USD

(pap/pap)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Exit mobile version