Selamatkan Ekonomi, Bank Sentral Bawa Dunia ke Jurang Resesi

Jakarta, CNBC Indonesia – 2022 baru saja berlalu, menjadi tahun dengan perubahan kebijakan moneter paling mencolok di era milenium. Bank sentral di dunia seakan berlomba menaikkan suku bunga acuannya, dan masih akan berlanjut di tahun ini.

Read More

Tujuannya, guna menurunkan inflasi yang sangat tinggi, khususnya di negara maju. 2023 akan menjadi puncaknya, dan menjadi dari periode panjang suku bunga tinggi, higher for longer, seperti kata Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo.

Higher interest for longer, suku bunga yang tinggi dan akan berlangsung lama,” jelas Gubernur BI Perry Warjiyo saat melakukan rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (21/11/2022).

Secara teori suku bunga tinggi akan menurunkan inflasi. Dengan suku bunga tinggi, masyarakat akan cenderung menyimpan uangnya dan mengurangi belanja. Demand pull inflation akan tertahan, bahkan menurun.


Tetapi tentunya ada yang dikorbankan, yakni pertumbuhan ekonomi. Belanja konsumen yang merupakan motor penggerak perekonomian, kemudian dunia usaha tentunya akan mengurangi ekspansi karena tingginya suku bunga kredit.

Alhasil, pertumbuhan ekonomi akan melambat, bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa hampir dipastikan akan mengalami resesi tahun ini. Bahkan, perekonomian dunia juga banyak yang memprediksi akan mengalami resesi.

Meski tidak bermaksud, tetapi langkah agresif bank sentral AS (The Fed), bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB), bank sentral Inggris (BoE) dan bank sentral lainnya yang sangat agresif menaikkan suku bunga, seolah sengaja membawa perekonomiannya mengalami resesi.

Semakin cepat resesi, maka penurunan demand akan terakselerasi. Inflasi pun bisa segera diturunkan. Resesi sementara akan lebih baik ketimbang inflasi tinggi yang mendarah daging, kira-kira seperti itulah yang ada di benak para pembuat kebijakan moneter.

Hal ini terlihat dari The Fed Cs yang terus menaikkan suku bunga, meski banyak yang memprediksi resesi akan terjadi.

Sepanjang 2022, The Fed menaikkan suku bunga sebesar 425 basis poin menjadi 4,25% – 4,5%, menjadi yang tertinggi dalam 15 tahun terakhir. Kenaikan tersebut juga menjadi yang paling agresif sejak tahun 1980an.

Pada 2023, The Fed berpeluang menaikkan suku bunga dua kali lagi, 50 basis poin pada Februari dan 25 basis poin sebelulan berselang hingga menjadi 5% – 5,25%. Itu kan menjadi level puncak suku bunga di Amerika Serikat, tersirat dari Fed dot plot yang dirilis Desember lalu.


Selain The Fed, ECB dan BoE juga akan terus menaikkan suku bunganya di tahun ini. ECB puncak suku bunga ECB diperkirakan akan mencapai 3,5% pada Juli 2023, dan BoE mencapai 4,25% pada kuartal pertama tahun depan, berdasarkan survei Reuters.

BI juga bertindak agresif di tahun ini, selain menurunkan inflasi langkah tersebut perlu dilakukan guna menjaga stabilitas rupiah yang nilainya merosot akibat perkasa dolar AS merespon kebijakan The Fed.

Sepanjang 2022, BI menaikkan suku bunga sebanyak 5 kali dengan total 200 basis poin. BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRRR) dikerek hingga menjadi 5,5% pada Desember lalu.

Dengan alasan yang sama, Tim Riset CNBC Indonesia memproyeksi BI masih akan mengerek suku bunganya beberapa kali lagi di awal tahun ini hingga menjadi 6,25%.

Langkah ini perlu dilakukan, sebab The Fed dan bank sentral lainnya tidak hanya menaikkan suku bunga, tetapi juga mengurangi nilai neraca (balance sheet) yang dimiliki.

Ketika suku bunga semakin tinggi, maka masyarakat akan cenderung melakukan saving ketimbang belanja. Kemudian ekspansi dunia usaha juga akan melambat, pelambatan ekonomi pun menjadi keniscayaan.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Quantitative Tightening dan Kejutan Bank Sentral Jepang

Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts