Jakarta, CNBC Indonesia – Rupiah membuka perdagangan Rabu (20/11/2022) dengan menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS). Namun, penguatan ini terjadi setelah sebelumnya mencatat pelemahan 3 hari beruntun.
Melansir Refinitiv, rupiah membuka perdagangan di Rp 15.720/US$, menguat 0,13% di pasar spot. Apresiasi sempat bertambah ke Rp 15.680/US$, tetapi berbalik stagnan di Rp 15.740/US$ pada pukul 9:05 WIB.
Analis DCFX Lukman Leong mengatakan sentimen negatif berasal dari investor dan dampaknya bisa saja meluas ke banyak sektor. “Saya melihat apabila rupiah terus melemah dampak bisa meluas ke banyak sektor disebabkan oleh cost pushed inflation,” ungkap Lukman kepada CNBC Indonesia, Rabu (30/11/2022).
Asal tahu saja, inflasi pada dasarnya adalah kenaikan harga. Pemicu inflasi ada dua. Pertama, inflasi akibat tingginya permintaan (demand pull inflation). Kedua, inflasi karena kenaikan harga bahan baku yang menyebabkan harga akhir naik (cost pushed inflation).
Nah, pemicu kenaikan harga barang baku ini beragam. Salah satunya, bisa disebabkan oleh melemahnya mata uang. Sehingga, harga impor menjadi lebih mahal.
Sehingga, ada beberapa sektor yang terdampak, yaitu sektor yang sensitif dengan harga, cost, dan impor,seperti sektor manufaktur, food and beverage, dan ritel. Adapun, langkah yang bisa dilakukan emiten menurut Lukman diantaranya melakukan lindung nilai terhadap pelemahan rupiah terhadap dolar AS.
“Namun ini akan bisa semakin memperdalam depresiasi rupiah apabila dilakukan dalam skala besar. Langkah lain tentu saja cost cuting, diantaranya mungkin pengurangan tenaga kerja dan scale back operasi,” tegas Lukman.
Lukman juga menyebut secara tradisi, eksportir biasanya diuntungkan oleh pelemahan pada mata uang. Adapun sektor tambang juga justru diuntungkan karna nilai produknya kebanyakan dalam mata uang dolar.
Associate Director of Research Pilarmas Investindo, Maximilianus Nicodemus menilai, pelemahan rupiah masih dalam batas wajar. Di sisi lain, menurutnya yang perlu jadi perhatian adalah bagaimana perusahaan yang mengandalkan impor bisa bertahan. “Contohnya adalah industri farmasi dengan komposisi impor mencapai 90%,” jelas Nico.
Di sisi lain, Nico juga menyebutkan tidak banyak emiten yang bergantung impor dan masih cukup kuat. Terlebih lagi, menurut Nico dari semua mata uang, rupiah masih cukup oke. Nico pun mengungkapkan kalau hedging adalah mitigasi risiko yang bisa diambil emiten saat ini.
Adapun bagi investor, Nico menyarankan untuk bisa beradaptasi, kemudian investor disarankan untuk memilih emiten dengan fundamental kuat di tengah ketidakpastian pasar seperti perbankan, infrastruktur, dan juga konsumer. “Durasi investasi juga bisa diperhatiakan lebih lanjut,” pungkas Nico.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Intip Deretan Cara Pemerintahan Jokowi ‘Perangi’ Inflasi
(RCI/dhf)
Sumber: www.cnbcindonesia.com