RI Ketiban Sial Amerika, Rupiah Jadi Ambruk

Jakarta, CNBC Indonesia – Kabar buruk datang bagi Amerika Serikat (AS). Fitch Ratings, lembaga pemeringkat kredit, menurunkan peringkat kredit pemerintah AS menyusul kekhawatiran atas keadaan keuangan negara dan beban utangnya.

Read More

Fitch menurunkan peringkat utang AS dari peringkat teratas AAA menjadi AA+. Fitch mengatakan telah mencatat “kemerosotan yang stabil” dalam pemerintahan selama 20 tahun terakhir, termasuk dalam hal fiskal dan utang AS.

Fitch menilai kebuntuan pembahasan politik soal batas utang yang berulang dan resolusi di menit-menit terakhir telah mengikis kepercayaan pasar terhadap manajemen fiskal negara.

Lembaga ini juga menyoroti peningkatan defisit pemerintah yang akan naik menjadi 6,3% dari PDB pada tahun 2023 dari 3,7% pada tahun 2022, serta kombinasi dari pengetatan kondisi kredit, melemahnya investasi bisnis, dan perlambatan konsumsi yang dapat menyebabkan resesi ringan. Atas kondisi ini, Fitch yakin AS akan diwarnai dengan suku bunga yang lebih tinggi dan meningkatnya utang yang menekan layanan publik.

Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk. Andry Asmoro menilai ketika suatu negara kehilangan peringkat kreditnya, investor cenderung melihatnya sebagai investasi yang lebih berisiko.

“Hal ini menyebabkan permintaan obligasi AS menurun, yang pada gilirannya meningkatkan tingkat bunga yang harus dibayar pemerintah AS untuk meminjam uang,” ujar Andry dalam catatannya, dikutip Rabu (2/8/2023).

Alhasil the Fed akan menaikkan suku bunga acuan sekali lagi, menjadi 5,5% hingga 5,75% pada bulan September. Sementara itu, ketahanan ekonomi dan pasar tenaga kerja memperumit tujuan Fed untuk membawa inflasi menuju target 2%.

“Kenaikan suku bunga ini dapat merugikan pasar keuangan global karena dapat menurunkan minat investor untuk berinvestasi di pasar saham dan obligasi,” ungkap Andry.

Andry melihat hal ini akan berdampak pada Indonesia. Penurunan peringkat AS tersebut merupakan cerminan dari lemahnya kinerja fiskal AS yang berdampak pada perekonomian domestiknya.

Pasca pandemi, ekonomi AS ditantang oleh tingkat inflasi yang lebih tinggi karena elastisitas pasar tenaga kerja yang ketat dan kenaikan harga energi. Hal ini mendorong tingkat suku bunga Fed yang lebih tinggi menjadi 5,5% saat ini, dari hanya 0,25% pada tahun 2021.

“Tingkat suku bunga acuan yang ‘lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama’ menekan permintaan domestik yang pada akhirnya berdampak pada permintaan impor yang lebih rendah, termasuk dari Indonesia,”.

“Pada titik ini, kami melihat dampak terhadap angka ekonomi makro Indonesia akan melalui kinerja perdagangan dan investasi AS yang lebih rendah,” paparnya.
Andry mengungkapkan per 23 Mei, ekspor Indonesia ke AS telah turun sebesar 23,2% (year to date/ytd) dibandingkan 30,9% tahun lalu. Dampak terbesar terjadi pada ekspor produk tekstil, furnitur, dan produk karet.

Dengan demikian, perlambatan ekspor akan membatasi kemungkinan pertumbuhan ekonomi Indonesia jauh di atas 5% pada tahun 2023 dan 2024. Namun, dorongan terbesar akan datang dari perekonomian domestik ketika Pemerintah mendorong percepatan belanja.

Dampak downgrade rating AS ini juga akan muncul di pasar keuangan RI, Andry mengungkapkan dampak limpahan ke pasar RI akan masuk melalui volatilitas arus modal asing.

Kemarin, IHSG turun 0,6% ke 6.886,5 karena investor berhati-hati terhadap kemungkinan kenaikan suku bunga Fed berikutnya pasca publikasi data ketenagakerjaan di AS.

Sementara itu, terdapat net outflow investor asing sebesar Rp 386,9 miliar kemarin. Alhasil, di pasar obligasi, imbal hasil obligasi pemerintah rupiah 10 tahun turun 1,7 bps menjadi 6,31%, sementara obligasi pemerintah denominasi dolar tenor 10 tahun (INDON) naik 0,2 bps menjadi 4,90%.

Melihat perkembangan ini, Andry menilai downgrade rating AS, sekali lagi, membuktikan bahwa volatilitas global akan bertahan dalam jangka menengah.

“Risiko perlambatan global diperkirakan akan terjadi dalam waktu dekat di belakang kinerja ekonomi combo AS-Tiongkok yang ‘offbeat’. Pada titik ini, dampaknya terhadap pasar Indonesia adalah volatilitas yang berasal dari arus keluar modal asing,” ujarnya.

Namun demikian, Andry percaya bahwa ruang untuk arus keluar modal asing terbatas karena telah dilakukan secara besar-besaran pada tahun lalu.

“Tahun ini, dengan indikator domestik yang stabil, terutama untuk indikator ‘game changer seperti tingkat inflasi, Indonesia masih akan menjadi salah satu tujuan aliran modal masuk,” lanjutnya.

“Kami perkirakan segera setelah The Fed menyatakan sudah cukup dengan kenaikan suku bunga, modal asing akan masuk ke pasar modal Indonesia,” pungkas Andry.

[Gambas:Video CNBC]



Artikel Selanjutnya


BI Rate Ditahan, Rupiah Bisa Menguat ke Bawah Rp 15.000/USD?

(haa/haa)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts