Pasar Tenaga Kerja AS ‘Mendingin’, Wall Street Ijo Royo-royo

Jakarta, CNBC Indonesia –  Bursa saham Amerika Serikat (AS) langsung menghijau pada sesi awal pembukaan perdagangan Kamis (8/12/2022). Indeks Dow Jones menguat 0,32% ke 33.704,78. Sementara indeks Nasdaq naik 0,45% ke 11.008,27 dan indeks S&P 500 menguat 0,39% ke 3.949,44.

Read More

Penguatan bursa Wall Street ini menjadi kabar baik setelah bursa loyo sepanjang pekan ini. Pada penutupan perdagangan kemarin, indeks Nasdaq dan S&P 500 kembali mengakhiri perdagangan di zona merah. Sementara itu, indeks Dow Jones nyaris tidak bergerak dan hanya menguat tipis 1,58 poin dari penutupan hari sebelumnya.

Kembali bergairahnya bursa saham AS ditopang oleh data initial job claims yang menunjukkan pasar tenaga kerja AS mulai ‘mendingin’ setelah berlari kencang.

Bursa Wall Street juga menguat karena meningkatnya ekspektasi pasar jika bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) hanya akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps pada pekan depan.

AS juga baru saja mengumumkan data initial job claims atau klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir pada 3 Desember 2022 mencapai 230.000. Jumlah ini sesuai dengan ekspektasi pasar. Jumlah tersebut juga naik dibandingkan pada pekan sebelumnya yakni 226.000.

Rata-rata klaim pengangguran dalam empat pekan terakhir mencapai 230.000, level tertinggi sejak Agustus. Meningkatnya angka klaim tunjangan pengangguran menunjukkan jika pasar tenaga kerja AS mulai ‘mendingin’ dan ada sinyal perlambatan ekonomi.

Pada situasi saat ini, berita buruk pada data ekonomi AS akan menjadi berita baik. Pasalnya, data buruk akan meningkatkan harapan jika The Fed akan melonggarkan kebijakan moneter agresifnya.

The Fed akan menggelar Federal Open Market Committee (FOMC) pada 13-14 Desember mendatang. Polling Reuters menunjukkan 93% responden memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps.
The Fed sudah menaikkan suku bunga acuan secara agresif sebesar 375 bps sepanjang tahun ini menjadi 3,75-4,0%.

Kebijakan moneter yang agresif mulai meningkatkan kekhawatiran jika ekonomi AS akan jatuh ke jurang resesi. Kekhawatiran resesi sudah membuat bursa saham Wall Street dan bursa global jeblok.

Tidak hanya di Amerika Serikat, kekhawatiran resesi juga terjadi di level global. Terlebih, China sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia terus melaporkan data negatif.

Setelah melaporkan penurunan ekspor dan impor November pada Rabu (7/12/2022), China melaporkan jika penjualan kendaraan untuk penumpang anjlok 9,5% (year on tear/yoy) menjadi 1,67 juta pada November 2022. Penurunan ini adalah yang pertama kalinya sejak Mei 2022 atau dalam enam bulan terakhir.

Di tengah muramnya bursa saham global, analis dari Deutsche Bank Luke Templeman mengingatkan kondisi bisa berbalik arah.

“Resesi akan datang dan pasar saham biasanya akan mencapai bottom jika resesi terjadi. Namun, jika outlook ekonomi mengecewakan dan tidak ada kabar baik, pasar biasanya berbalik arah dan menguat pada saat yang tidak terduga,” tutur Templeman, dikutip dari Reuters.

Survei Finimize juga menunjukkan investor ritel masih sangat optimis. Hanya 1% dari investor ritel yang akan menjual investasi mereka pada 2023, 65% akan tetap berinvestasi, dan 29% akan menambah portofolio mereka.

Survei melibatkan 2.000 investor ritel di seluruh Eropa, Asia, dan Amerika Serikat (AS). Hasil survei juga menunjukkan 80% responden memperkirakan periode terburuk dari pasar saham akan terjadi dalam enam bulan ke depan.

“Data ini menunjukkan bahwa bahkan dalam kondisi pasar seperti saat ini mayoritas melihat volatilitas adalah bagian dari siklus ekonomi. Mereka sudah paham karena memiliki akses informasi dan pengalaman yang cukup dalam berinvestasi,” tutur Ceo Finimize’s CEO, Max Rofagha, dikutip dari CNBC International.

TIM RISET CNBC INDONESIA

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Wall Street Menguat Setelah 3 Hari Jeblok, tapi PHP Gak Nih?

(mae/mae)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts