Jakarta, CNBC Indonesia – Mayoritas bursa Asia-Pasifik dibuka melemah pada perdagangan Selasa (21/2/2023), di tengah sikap investor yang menanti rilis data aktivitas manufaktur dan jasa di kawasan tersebut pada periode Februari 2023.
Hanya indeks Shanghai Composite China yang dibuka naik tipis pada pagi hari ini, yakni naik tipis 0,01%.
Sedangkan sisanya dibuka melemah. Indeks Nikkei 225 Jepang dibuka terkoreksi 0,14%, Hang Seng Hong Kong melemah 0,31%, Straits Times Singapura turun 0,1%, ASX 200 Australia terpangkas 0,66%, dan KOSPI Korea Selatan terdepresiasi 0,14%.
Dari Australia, risalah dari pertemuan bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) mengatakan bahwa kenaikan suku bunga sebesar 25 basis poin (bp) yang dianggap sebagai jeda dalam kenaikan bukanlah pilihan yang tepat.
Anggota RBA telah memperdebatkan antara kenaikan 25 bp dan 50 bp cukup lama, di mana yang terakhir berasal dari kekhawatiran data harga dan upah yang masuk melebihi ekspektasi.
“Kasus untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin mengakui kebutuhan untuk membawa permintaan dan penawaran dalam ekonomi lebih seimbang, sambil mencatat bahwa inflasi diperkirakan akan mencapai puncaknya,” kata risalah tersebut.
Dewan RBA setuju bahwa kenaikan suku bunga lebih lanjut kemungkinan akan diperlukan selama beberapa bulan ke depan untuk memastikan bahwa inflasi kembali ke target dan bahwa periode inflasi tinggi saat ini hanya bersifat sementara.
Pelaku pasar di Asia-Pasifik cenderung akan memfokuskan perhatiannya ke kawasan tersebut dan kondisi di Eropa, karena pasar keuangan di Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin kemarin ditutup karena libur memperingati Hari Presiden.
Namun, pasar masih cenderung khawatir dengan prediksi dari Bank of America yang mengatakan bahwa indeks S&P 500 di pada awal Maret mendatang yang bisa anjlok 6% ke bawah 3.800-an.
“Hati-hati, penguatan indeks S&P 500 pada 2023 akan lenyap awal bulan depan,” kata Michael Hartnett, kepala ahli strategi investasi Bank of America dalam sebuah catatan kepada nasabah mereka, sebagaimana dikutip Business Insider, Jumat (17/2/2023) lalu.
Hal ini karena bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang jauh dari kata selesai dalam melawan inflasi sehingga potensi tren kenaikan suku bunga acuan akan terus berlanjut.
Goldman Sachs dan Bank of America memperkirakan masih akan ada tiga kenaikan suku bunga lagi masing-masing naik 25 bp.
Selaras dengan Sachs, pasar kini melihat The Fed akan menaikkan suku bunga tiga kali lagi pada Maret, Mei dan Juni masing-masing sebesar 25 bp hingga menjadi 5,25% – 5,5%. Ini artinya pasar melihat suku bunga bisa lebih tinggi dari proyeksi yang diberikan The Fed 5% – 5,25%.
Perkiraan tersebut tak lepas dari ekonomi Negeri Paman Sam yang masih solid dan inflasi Januari yang tumbuh di atas ekspektasi pasar.
Untuk diketahi inflasi AS pada Januari lalu tumbuh 6,4% (year-on-year/yoy). Angka tersebut berada di atas ekspektasi yakni 6,2% (yoy) dan berada jauh dari target The Fed yaitu 2%.
Selain itu AS dilaporkan mampu menyerap 517.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian, jauh lebih tinggi dari sebelumnya yakni 260.000 orang. Tingkat pengangguran pun turun menjadi 3,4% dan merupakan angka terndah sejak Mei 2969.
Kemudian, rata-rata upah per jam masih tumbuh 4,4% (yoy), lebih tinggi dari prediksi 4,3%.
Ekonomi yang solid dipandang menjadi momentum bagus untuk terus menaikkan suku bunga dalam upaya menurukan angka inflasi.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Sinyal Nggak Enak Buat IHSG Nih… Bursa Asia Loyo Lagi
(chd/chd)
Sumber: www.cnbcindonesia.com