Ongkos Utang RI Bengkak 2 Kali, Dolarnya ‘Dirampok’ Tetangga

Jakarta, CNBC Indonesia – Indonesia harus membayar mahal akibat kekeringan likuiditas dolar Amerika Serikat terjadi dimana-mana. Biaya penerbitan surat utang berdenominasi dolar AS, atau global bond membengkak, besar. Lebih dari dua kali lipat.

Read More

Pemerintah baru saja menerbitkan global bond US$ 3 miliar, atau setara sekitar Rp 47 triliun dari pasar obligasi luar negeri, dicatatkan Singapore Stock Exchange dan Frankfurt Stock Exchange. Surat utang itu diterbitkan dalam tiga tenor; lima tahun, 10 tahun dan 30 tahun.

Yang menarik adalah ongkos penerbitan yang tercermin dari tingkat yield atau imbal hasil yang diberikan kepada investor melonjak, jauh di atas biaya yang harus dikeluarkan dari tahun-tahun sebelumnya. Lima tahun sebesar 4,80%, tenor 10 tahun sebesar 5,10% dan 30 tahun sebesar 5,75%.

Sebagai pembanding, untuk tenor acun 10 tahun, persentasenya dua kali lipat lebih mahal dari penerbitan global bond tenor serupa pada 2021 yang hanya 2,2%. Pada waktu itu pemerintah menerbitkan US$ 600 juta untuk seri tersebut.

Dalam catatan CNBC Indonesia Research, yield penerbitan untuk tenor 10 tahun kali ini tertinggi, paling tidak sejak data 2017. Bahkan, mungkin tertinggi sepanjang sejarah.



Kenaikan ongkos penerbitan surat utang ini wajar mengingat kekeringan dolar AS terjadi dimana-mana. Ini dipicu oleh kenaikan agresif suku bunga acuan Bank Sentral AS dan kebijakan penjualan masif US Treasury yang mengakibatkan dolar AS pulang kampung.

Indonesia, dan negara negara lain sedang terkena dampak fenomena flight to quality. Sebagai gambaran, obligasi negara Paman Sam tenor 10 hari ini dihargai pada yield 3,71%, sedikit lebih rendah dari 3,88% pada akhir 2022 lalu.

Akan tetapi, yang patut menjadi keprihatinan adalah kelangkaan dolar AS di dalam negeri sebetulnya bisa dikurangi. Pemerintah bisa menekan penerbitan obligasi global dengan meminjam dari pasar domestik.

Indonesia seharusnya memiliki likuiditas dolar AS yang memadai, karena surplus dagang yang terus menerus. Indonesia membukukan surplus selama 31 bulan beruntun dengan nilai ekspor menyentuh US$ 609,1 miliar atau lebih dari Rp 9.500 triliun. Namun, posisi cadangan devisa (cadev) justru tidak bergerak jauh di kisaran US$ 130-140 miliar pada rentang 31 bulan tersebut.

Miliaran dolar AS tersebut adalah hasil dari dana hasil ekspor (DHE) yang terus meningkat seiring kenaikan harga komoditas dunia. Yang terjadi, para pengusaha menjual ‘harta karun’ sumber daya alam itu kemudian memarkir dananya di negeri tetangga, khususnya Singapura.

Singapura menawarkan lebih dari 3% setahun untuk dolar AS yang ditempatkan di deposito berjangka. Jauh lebih tinggi dibandingkan di dalam negeri yang hanya rata-rata 0,38%.

Sekarang, pemerintah menerbitkan surat utang dolar AS yang dicatatkan di Singapura, negara dimana orang-orang kaya Indonesia menyimpan duit dolar AS nya.

Ini menguatkan pendapat Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahaladia bila dana investasi asing asal Singapura sebetulnya dana orang-orang Indonesia.

“Saya yakin bukan uang Singapura, sebagian besar orang Indonesia. Kalau menterinya bukan dari Partai Politik, blak-blakan saja. Biar sumpah potong kucing, bukan uang Singapura semua. Singapura jadi hub untuk mereka masuk ke Indonesia,” katanya, Oktober tahun lalu.

TIM RISET CNBC INDONESIA

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


RI Tarik Dolar Lewat DHE,Ekonom: Butuh Insentif Agar Berhasil

(mum/mum)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts