gep-indonesia.org

Ngeri Jiwasraya Jilid II, Boncos Dapen BUMN Rp9,8 T Dibongkar

Jakarta, CNBC Indonesia – Pengelolaan investasi dana pensiun (Dapen) oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akhir-akhir ini menjadi buah bibir publik. Bagaimana tidak, diketahui ada defisit dana hampir Rp 10 triliun tepatnya Rp 9,8 triliun dan ribuan pegawai terancam menjadi korban.

Hal itu diungkapkan oleh Menteri BUMN Erick Thohir.

Dirinya juga membeberkan hanya 35% dana pensiun BUMN yang masih sehat, sisanya ‘sakit’. Hal ini memperingatkan atas kasus yang sudah pernah terjadi sebelumnya pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero).


ADVERTISEMENT


SCROLL TO RESUME CONTENT

“Kita sudah hampir setahun lebih, jangan sampai isu Jiwasraya-Asabri kita lengah di dana pensiun BUMN sendiri, karena memang Undang-Undangnya seluruh dana pensiun ini kan dikelola oleh masing-masing dana pensiun perusahaannya, yang akhirnya kontrol dan konsolidasinya ini saya takut di kemudian hari menjadi bom waktu,” tutur Erick dalam Rapat Terbatas dengan Komisi VI DPR RI belum lama ini.

Lantas apakah Dapen BUMN yang defisit hingga RP 9,8 triliun itu bisa menjadi pengulangan sejarah atas kasus yang sudah-sudah?

Seperti diketahui, PT Asuransi Jiwasraya (Persero) (JS) dulu sempat mengalami persoalan pelik akibat gagal bayar perusahaan atas polis produk JS Saving Plan mencapai Rp 12,4 triliun.

Dari data yang diterima CNBC Indonesia, masalah Jiwasraya ternyata telah dimulai sejak tahun 2004. Di mana, perusahaan melaporkan cadangan yang lebih kecil daripada seharusnya, insolvency mencapai Rp 2,769 triliun. Kemudian, pada 2006 laporan keuangan menunjukkan nilai ekuitas Jiwasraya negatif Rp 3,29 triliun karena aset yang dimiliki jauh lebih kecil dibandingkan dengan kewajiban.

Sehingga, BPK memberikan opini disclaimer untuk laporan keuangan 2006 dan 2007 karena penyajian informasi cadangan tidak dapat diyakini kebenarannya. Pada 2008-2009, defisit semakin lebar yaitu berturut-turut Rp 5,7 triliun di 2008 dan Rp 6,3 triliun di 2009. Maka di tahun 2009 mulai dilakukan langkah-langkah penyelamatan jangka pendek (re-asuransi).

Kementerian BUMN menyampaikan kepada direksi Jiwasraya akan tetap mempertahankan kelangsungan usaha perusahaan dan meminta langkah-langkah konkrit secara menyeluruh sehingga permasalahan Jiwasraya dapat diselesaikan.

Pada 2010-2012, perusahaan melanjutkan skema re-asuransi dan mencatatkan surplus sebesar Rp 1,3 triliun akhir tahun 2011. Bapepam-LK meminta Jiwasraya menyampaikan alternatif penyelesaian komprehensif dan fundamental yang sifatnya jangka panjang.

Pada 2012, Bapepam-LK memberikan ijin produk JS Proteksi Plan yakni produk bancassurance dengan Bank BTN, KEB Hana Bank, BPD Jateng, BPD Jatim dan BPD DIY.

Per 31 Desember 2012, dengan skema financial re-asuransi, JS masih mencatat surplus sebesar Rp 1,6 triliun. Namun tanpa skema finansial re-asuransi maka JS mengalami defisit Rp 3,2 triliun.

Selanjutnya, pada 2013 hingga 2016, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta Kementerian BUMN untuk menyampaikan langkah alternatif penyehatan keuangan JS beserta jangka waktu penyehatan keuangan, karena memiliki permasalahan rasio pencapaian solvabilitas yang kurang dari 120%.

Direksi JS menyampaikan alternatif penyehatan berupa penilaian kembali aset tanah dan bangunan sesuai dengan standar akuntansi keuangan konvergen IFRS (nilai buku Rp 278,2 miliar), direvaluasi menjadi Rp 6,56 triliun dan mencatatkan laba sebesar Rp 457,2 miliar.

Pemeriksaan kemudian bergulir mulai tahun 2015, di mana tahun 2017 OJK mengeluarkan sanksi peringatan karena terlambat menyampaikan laporan aktuaris tahun 2017.

Laporan keuangan JS 2017 masih positif. Pendapatan premi JS Saving Plan mencapai Rp 21 triliun, laba Rp 2,4 triliun atau naik 37,64% dari tahun 2016. Ekuitas perseroan surplus Rp 5,6 triliun tetapi kekurangan cadangan premi Rp 7,7 triliun karena belum memperhitungkan impairment asset atau penurunan aset.

Pada April 2018, OJK bersama dengan direksi JS membahas adanya pendapatan premi yang turun cukup signifikan akibat diturunkannya guaranteed return atas produk JS Saving Plan setelah dilakukan evaluasi atas produk tersebut. Lalu, pada Mei 2018, ada pergantian direksi.

Setelah itu, direksi baru melaporkan terdapat ketidakberesan laporan keuangan kepada Kementerian BUMN. Hasil audit KAP atas laporan keuangan JS 2017 antara lain mengoreksi laporan keuangan interim yang semula mencatatkan laba Rp 2,4 triliun menjadi Rp 428 miliar.

Pada 10 Oktober 2018 JS mengumumkan tidak dapat membayar klaim polis JS Saving Plan yang jatuh tempo sebesar Rp 802 miliar. Dan pada 23 November 2018, OJK mengadakan rapat dengan direksi JS dengan agenda pembahasan kondisi perusahaan pada triwulan III 2018 dan upaya yang telah dilakukan oleh manajemen perusahaan.

Akhirnya, pada 2019 JS terlambat menyampaikan laporan keuangan 2018, OJK mengenakan sanksi sesuai dengan ketentuan berlaku.

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


65% Dapen BUMN Masalah, Anak Buah Erick: Siap-siap Kejutan!

(dce)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Exit mobile version