Menghadapi Risiko Stagflasi Global dan Transisi Energi

Bank Indonesia baru menaikkan suku bunga sebesar 50 bps beberapa hari yang lalu menjadi 4.75%, setelah sebelumnya menaikkan 50 bps pada September dan 25 bps di Agustus.

Read More

Seperti yang sering kita dengar akhir-akhir ini, ancaman kombinasi pertumbuhan yang rendah dan inflasi yang tinggi atau yang kita kenal dengan stagflasi membayangi perekonomian global. Berbicara tentang stagflasi, terdapat persamaan situasi global yang terjadi saat ini dengan yang terjadi pada saat resesi pada 1970-an. Berdasarkan data World Bank Group, inflasi global saat ini di kisaran 7-8% sementara di 1970-an di kisaran 10%.

Suku bunga riil sejak tahun 2010 sampai dengan saat ini di kisaran negatif 0.55%, mirip level 1970- 1980 di kisaran negatif 0.5%. Total utang emerging market and development economies (EMDEs) bahkan naik signifikan dari yang sebelumnya 60% dari GDP di 1980 menjadi 130% dari GDP pada 2021. Begitu juga perlambatan pertumbuhan yang sebelumnya melambat satu percentage points (ppt) menjadi melambat lebih dari dua ppt. Namun, terdapat perbaikan signifikan dari segi kerangka kebijakan. Jumlah negara EMDEs yang menerapkan inflation targeting meningkat signifikan apabila dibandingkan dengan tahun 2000, termasuk di dalamnya Indonesia yang baru menerapkan inflation targeting framework 2005.

Hal yang perlu diperhatikan dalam inflation targeting adalah sensitivitas ekspektasi inflasi terhadap kejutan inflasi, yang mana data historis 1990-2004 menunjukkan ekspektasi inflasi di EMDEs meningkat sekitar 0.55 ppt untuk setiap kenaikan 1 ppt inflasi (jauh lebih tinggi dibanding peningkatan sekitar 0.3 ppt ekspektasi inflasi di advanced economies). Untuk periode 2005-2018 sensitivitasnya membaik menjadi 0.2 ppt untuk EMDEs, namun tetap masih jauh lebih sensitif dibanding advanced economies.

Ekspektasi Inflasi

Menurut salah satu sumber, konsensus ekspektasi inflasi saat ini masih terlalu tinggi, di rentang 6,6 – 6,7% secara tahunan, lebih tinggi dari ekspektasi inflasi BI yang hanya 5,88% pada Oktober 2022. Mengontrol ekspektasi inflasi yang tinggi di tengah tingginya sensitivitas terhadap kejutan inflasi kemungkinan besar yang melatarbelakangi BI untuk menaikkan suku bunga kebijakannya secara bertubi-tubi, selain juga untuk stabilisasi nilai rupiah agar sesuai dengan nilai fundamentalnya.

Pentingnya mengontrol ekspektasi inflasi juga telah digarisbawahi dalam salah satu studi IMF yang menjelaskan alasan tingginya inflasi di US dan EU. Dari ketiga alasan mendasar, yakni shocks, upah, dan ekspektasi inflasi, ekspektasi inflasi lah yang paling berdampak pada persistensi inflasi yang terjadi di US dan EU, yang mana ekspektasi inflasi di EU lebih jelek dibanding US. Studi tersebut juga mengestimasi setiap penguatan USD sebesar 10% akan menaikkan tingkat inflasi di negara lain rata-rata sebesar 1%.

Terlepas dari terus berlangsungnya proses pemulihan ekonomi domestik, ancaman situasi global ini perlu diwaspadai. Menurut data World Bank Group, pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat menurun masing masing sekitar 0.35 ppt dan 0.55 ppt untuk setiap penurunan 1 ppt pertumbuhan negara G7 (di luar Jepang) dan negara China.

Selain untuk pengendalian inflasi, kenaikan suku bunga kebijakan juga ditujukan untuk stabilisasi nilai tukar karena risiko pelemahan mata uang akan menyebabkan investor asing menginginkan yield yang

lebih tinggi. Begitu juga apabila inflasi tidak dapat dikendalikan, nilai bunga dan pokok utang akan berkurang sehingga yield yang diinginkan investorĀ semakin tinggi.

Hubungan antara suku bunga dan inflasi berbeda dalam jangka panjang dan jangka pendek. Dalam jangka panjang, ekspektasi inflasi yang tinggi menyebabkan suku bunga nominal tinggi untuk mengkompensasi investorĀ atas nilai bunga dan pokok investasinya yang berkurang karena inflasi. Sebaliknya, di jangka pendek, penyesuaian harga berlangsung lambat karena konsep sticky prices, sehingga apabila bank sentral menaikkan suku bunga nominal, akan menjadi suku bunga riil. Dengan demikian, suku bunga riil yang meningkat diharapkan dapat menurunkan permintaan agregat dan pada akhirnya menurunkan inflasi.

Dengan demikian, menurut pandangan saya, rasional di balik peningkatan suku bunga kebijakan oleh Bank Indonesia sudah cukup kuat. Terlebih lagi, di tengah ketidakpastian yang tinggi seperti saat ini, prediktabilitas dan kredibilitas kebijakan moneter perlu tetap dijaga.

Transisi Energi dan Inflasi

Selain menyelesaikan permasalahan yang ada di depan mata saat ini, fokus kebijakan juga sebaiknya mulai diarahkan ke isu transisi energi. Indonesia merupakan negara yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, terutama karena merupakan negara kepulauan dan 65% populasi kita tinggal di area pantai, sehingga risiko kenaikan level laut berdasarkan data Bappenas dapat naik sekitar 0,8-1,2 cm per tahun. Dampak terhadap pertumbuhan ekonomi diperkirakan 0,66% – 3,45% dari GDP di 2030.

Sekilas peristiwa ini mungkin terlihat masih jauh di depan mata, namun kebijakan transisi energi perlu diterapkan segera secara gradual karena dampak ekonominya dapat lebih besar apabila ditunda, terlihat dari rentang estimasi potensi kerugian ekonomi yang cukup lebar. World Economic Outlook juga memperkirakan bahwa biaya transisi di 2030 dapat berlipat ganda apabila transisi energi ditunda.

Sehubungan dengan pengaruh terhadap inflasi, supply shocks akibat pandemi dan perang yang kita alami saat ini baru sekadar ‘pemanasan’ bagi kita. Perubahan iklim merupakan puncak dari segala supply shocks yang sesungguhnya. Menurut beberapa studi, kemungkinan terjadinya rentetan supply shocks akan meningkat intensitasnya di kemudian hari akibat dampak perubahan iklim, yang berpotensi meningkatkan inflasi dan volatilitasnya dalam jangka panjang.

Sejak pandemi dan perang, bisnis dan negara sudah mengutamakan ketahanan banting dibanding efisiensi. Hal ini akan meningkatkan biaya produksi yang berpotensi meningkatkan harga di masa yang akan datang. Perubahan iklim juga mengharuskan bisnis dan negara untuk beradaptasi dan mengutamakan ketahanan banting, karena dampak disrupsi rantai pasok akibat perubahan iklim diperkirakan akan lebih besar dibanding dampak pandemi dan perang. Hal ini sulit dilakukan, tidak hanya karena keterbatasan modal, namun juga karena kompleksitas dan dinamika dampak perubahan iklim yang menyebabkan sulitnya untuk memprediksi dampak yang ditimbulkan. Untuk itu, dibutuhkan kerjasama dan koordinasi yang erat dalam hal pendanaan maupun koordinasi penyediaan data dan riset antar lembaga.

Tidak hanya tren inflasi jangka panjang, transisi energi juga mempengaruhi inflasi jangka pendek. Seiring permintaan komponen untuk transisi ke energi bersih yang meningkat sementara pasokannya terbatas, inflasi dan volatilitasnya juga berpotensi meningkat.

Kita tidak dapat menyangkal kondisi makroekonomi global saat ini sedang tidak baik. Tren jangka panjang juga menunjukkan semakin banyaknya tantangan akibat perubahan iklim dan transisi energi. Semuanya ini akan berdampak ke perekonomian domestik. Reformasi struktural dan koordinasi kebijakan antar lembaga, baik moneter maupun fiskal, sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan ke depan. Kebijakan pemerintah yang diambil agar tidak hanya berfokus pada dampak jangka pendek, tetapi juga jangka menengah dan jangka panjang.

Transisi energi secara gradual perlu segera dilakukan. Demikian juga bagi kita masyarakat, mari dukung kebijakan pemerintah untuk bertransisi energi. Langkah nyata yang dapat kita ambil yaitu mendukung kebijakan reformasi subsidi. Bagi yang masih mampu, mari berkorban dan tidak berkeluh kesah ketika harus merogoh kocek lebih untuk membayar energi sesuai dengan harga yang seharusnya, demi perekonomian domestik yang lebih cerah di masa mendatang.

(rah/rah)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts