Menanti Kebijakan BI, Rupiah Lanjut Melemah 3 Hari Beruntun

Jakarta, CNBC IndonesiaRupiah kembali mencatatkan perlemahan melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (16/11/2022). Perlemahan terjadi ketika indeks dolar AS yang kembali turun 0,26% ke 106,12 menjadi level terendah dalam dua bulan terakhir.

Read More

Mengacu pada data Refinitiv, Mata Uang Garuda melemah pada pembukaan perdagangan sebesar 0,1% ke Rp 15.550/US$. Pukul 11:00 WIB rupiah terkoreksi lebih tajam menjadi 0,55% ke Rp 15.620/US$.

Kemudian, rupiah mengakhiri perdagangan hari ini di Rp 15.600/US$, melemah 0,42% di pasar spot. Untuk diketahui, posisi rupiah saat ini masih dalam tren yang tinggi dalam 2,5 tahun terakhir, tepatnya 30 April 2020. Rupiah juga tercatat melemah dalam 3 hari beruntun.



Perlemahan rupiah terjadi saat indeks dolar AS juga bergerak melemah sebesar 0,26% ke posisi 106,12 padahal Bank sentral AS (The Fed) yang mengindikasikan akan terus menaikkan suku bunga. Indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini sudah merosot dalam sepekan terakhir, dengan total 5,96%.

Pada Selasa (15/11/2022), Indeks Harga Produsen (IHP) AS per Oktober 2022 naik 0,2% secara bulanan (month-to-month/mtm). Sesuai dengan konsensus analis Trading Economics. Namun, IHP secara tahunan melandai dari 8,4% menjadi 8% yoy. Posisi tersebut lebih rendah dari prediksi analis yang memproyeksikan di 8,3%.

Rilis IHP kerap dijadikan data penunjang krusial untuk bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) sebelum memutuskan kebijakan moneter selanjutnya.

Setelahnya, Presiden Atlanta Raphael Bostic memberikan pernyataan bahwa ia melihat hanya sedikit bukti bahwa pengetatan kebijakan moneter agresif dari Fed telah menurunkan inflasi.

“Uang yang lebih ketat belum cukup membatasi aktivitas bisnis untuk secara serius mengurangi inflasi. Saya mengantisipasi bahwa lebih banyak kenaikan suku bunga akan diperlukan,” tuturnya dikutipReuters.

Bostic mengatakan bahwa resesi dapat dihindari dan skenario tersebut lebih disukai daripada inflasi yang tinggi mengakar.

“Saat ini, pekerjaan nomor satu untuk FOMC adalah menjinakkan inflasi yang terlalu tinggi. Ukuran inflasi yang disukai The Fed berjalan lebih dari tiga kali target 2%,” tambahnya.

“Setelah tingkat kebijakan Fed mencapai tingkat pembatasan yang tepat, bank sentral perlu mempertahankannya di sana “sampai kita melihat bukti yang meyakinkan bahwa inflasi berada di jalur yang benar” menjadi 2%,” kata Bostic.

Seperti diketahui, kenaikan suku bunga The Fed menjadi penyebab utama rupiah tertekan. Ketika The Fed diperkirakan akan mengendurkan laju kenaikan suku bunganya, rupiah pun sempat mendapatkan angin segar.

Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, probabilitas suku bunga naik 50 basis poin menjadi 4,25% – 4,5% pada Desember kini sebesar 90%, naik jauh dari hari sebelumnya 56%.

Dari dalam negeri, investor masih menantikan rilis kebijakan terbaru dari Bank Indonesia (BI) yang dijadwalkan akan dirilis pada Kamis (17/11). Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memproyeksikan BI akan menaikkan suku bunga acuan secara agresif pada bulan ini.

Dari 14 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus tersebut, delapan lembaga/institusi memperkirakan bank sentral akan mengerek BI7DRR sebesar 50 basis points (bps) menjadi 5,25%.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Artikel Selanjutnya


Khawatir The Fed Agresif, Rupiah Kembali Tak Berdaya!

(aum/aum)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts