Jakarta, CNBC Indonesia – Data inflasi yang dirilis Amerika Serikat (AS) pada Kamis (12/1/2022) malam ini menjadi perhatian utama sejak pergantian tahun. Maklum saja, data kenaikan harga tersebut bisa menjadi indikator yang menentukan suku bunga bank sentral AS (The Fed).
Hasil polling Reuters menunjukkan inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) bulan Desember 2022 diperkirakan sebesar 6,5% year-on-year (yoy), jauh lebih rendah dari bulan sebelumnya 7,1% (yoy).
Jika data tersebut dirilis sesuai prediksi, tentunya akan menjadi kabar baik, peluang The Fed mengendurkan laju kenaikan suku bunganya akan semakin besar. Tetapi, jika inflasi hanya turun tipis, atau stagnan bahkan mengalami kenaikan, maka tentunya akan menjadi bencana.
Sektor finansial tentunya menjadi yang pertama terkena bencana, kemudian merambat ke sektor rill yang membawa perekonomian dunia memasuki resesi lebih dalam.
Pelaku pasar saat ini sudah bereskpektasi The Fed akan mengendurkan laju kenaikan suku bunganya setelah sektor jasa Amerika Serikat pada Desember mengalami kontraksi untuk pertama kalinya dalam dua setengah tahun terakhir. Sektor ini berkontribusi tidak kurang dari 70% produk domestik bruto (PDB) Amerika Serikat.
Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pasar kini melihat The Fed akan menaikkan suku bunga masing-masing 25 basis poin pada Februari dan Maret, sehingga puncaknya menjadi 4,75% – 5%.
Probabilitas kenaikan 25 basis poin pada Februari sebesar 75% dan pada Maret 65,9%.
Dengan data ekonomi AS yang sudah mulai menunjukkan tanda-tanda pelambatan, pelaku pasar melihat peluang The Fed bisa menurunkan suku bunga lebih cepat.
Perangkat FedWatch menunjukkan suku bunga bisa dipangkas di akhir 2023.
Hal ini tentunya berbeda dengan proyeksi The Fed yang diberikan Desember lalu. Bank sentral paling powerful di dunia ini sebelumnya mengindikasikan akan menaikkan suku bunga dua kali lagi, 50 basis poin pada Februari dan 25 basis poin sebulan berselang hingga menjadi 5% – 5,25%.
The Fed sebelumnya juga menyatakan suku bunga tidak akan diturunkan hingga 2024.
Skenario yang diinginkan pelaku pasar tersebut bisa terjadi jika inflasi terus menurun tahun ini, dan diawali malam nanti. Tetapi, skenario akan menjadi buyar malah lebih buruk jika inflasi naik. The Fed kemungkinan akan menaikkan suku bunga lebih tinggi lagi dari proyeksi yang diberikan pada Desember.
“Memulihkan stabilitas harga saat inflasi tinggi membutuhkan upaya yang mungkin tidak populer dalam waktu dekat karena bisa memperlambat ekonomi,” imbuhnya tutur Powell, dalam pidatonya di Riskbank Conference dikutip dari CNBC International Selasa (10/1/2022).
Pernyataan tersebut menyiratkan komitmen The Fed untuk menurunkan inflasi, meski harus terus menaikkan suku bunga dan membawa ekonomi memasuki resesi.
CEO JPMorgan Jamie Dimon menyebut bahwa The Fed mungkin perlu menaikkan suku bunga hingga ke level 6% untuk melawan inflasi. Suku bunga itu akan menjadi yang tertinggi sejak 2001
Dalam wawancara dengan Fox Business Selasa (10/1) pagi waktu New York, Dimon menyebut bahwa bank sentral harus menaikkan suku bunga ke tingkat 5% lalu kemudian mengambil jeda. Dia mengatakan jeda tersebut dilakukan untuk membiarkan para bankir dan ekonom melihat bagaimana ekonomi bereaksi dan apakah inflasi dapat mereda.
“Inflasi tidak akan turun seperti yang diharapkan orang,” katanya. “Tapi yang pasti akan turun sedikit.”
Jika kondisinya masih urung membaik, Dimon berpendapatan The Fed dapat mulai menaikkan suku bunga pada kuartal keempat dan menyebut kenaikan suku bunga acuan tersebut “mungkin saja 6%.”
Semakin tinggi suku bunga, artinya akan menjadi bencana bagi pasar saham dunia. Dolar AS akan kembali perkasa, dan rupiah berisiko kembali terpuruk. Yield obligasi AS (Treasury) akan naik lagi yang berisiko kembali memicu capital outflow dari pasar Surat Berharga Negara (SBN).
Jika The Fed menaikkan suku bunga hingga 6%, Bank Indonesia (BI) tentunya akan mengikuti. Suku bunga BI saat ini 5,5%, selisih dengan The Fed sekitar 1,25%. Jika BI menjaga selisih tersebut, maka suku bunga BI nantinya bisa mencapai 7,25%, jika suku bunga The Fed mencapai 6%.
Tingginya suku bunga acuan BI tentunya akan mengerek suku bunga kredit. Masyarakat akan terbebani, suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) misalnya bisa semakin tinggi. Ekspansi dunia usaha juga akan tersendat akibat tingginya kredit modal kerja hingga investasi, alhasil perekonomian Indonesia akan melambat lebih dalam lagi.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Powell Buat Ekonomi AS ‘Sakit’ Demi Jinakkan Inflasi
(pap/pap)
Sumber: www.cnbcindonesia.com