Jakarta, CNBC Indonesia – Krisis perbankan di Amerika Serikat (AS) belum usai. Dimulai dari Silicon Valley Bank (SVB) pada Maret lalu, kemudian disusul oleh Bank Silvergate dan Signature. Terbaru, First Republic Bank yang kolaps setelah sahamnya anjlok 50% pada bulan April lalu, dan kini telah diakuisisi oleh JPMorgan Chase & Co.
Berjatuhannya bank-bank di ini tidak terlepas dari suku bunga telah meningkat tinggi di negeri Paman Sam itu. Suku bunga AS saat ini berada di kisaran 4,75% sampai 5%. Bank Sentral AS Federal Reserve (The Fed) diekspektasikan akan masih akan menaikkan suku bunga acuannya pada Rabu pekan ini.
Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah menerangkan bahwa suku bunga memegang peranan yang sangat besar di AS. Kebijakan moneter dalam bentuk naik turunnya suku bunga berdampak langsung ke sistem perbankan dan kehidupan masyarakat.
“Ketika suku bunga naik begitu tinggi, yang terjadi sekarang ini, masyarakat dan perbankan benar-benar menderita, susah bernapas. Dalam jangka pendek masyarakat dan perbankan masih bisa tahan. Tapi setelah periode yang cukup panjang, satu persatu rontok. Sebagian masyarakat tidak mampu membayar cicilan hutang,” ujarnya saat dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (2/5/2023).
Akibatnya, rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) bank meningkat, yang kemudian akan menyebabkan kebangkrutan, kata Piter.
Ia meyakini krisis ekonomi di AS masih akan terus berlangsung selama The Fed masih terus melanjutkan kebijakan menaikkan suku bunga.
Selaras, pengamat perbankan dari Indonesia Banking School (IBS) Batara Simatupang menilai krisis perbankan ini sangat erat kaitannya dengan upaya The Fed dalam menekan inflasi dengan cara meningkatkan suku bunga acuan. Ini akan berpengaruh secara global termasuk Indonesia.
“Pada keadaan normal, perilaku investasi akan berupaya bertahan pada satu region sepanjang masih terdapat selisih dari potfolio yang dipegang. Namun kalau perbedaannya tipis dan switching cost-nya rendah, maka risiko terhadap pembalikan arus modal bisa terjadi dan menimbulkan kontraksi bagi perekonomian Indonesia,” kata Batara saat dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (2/5/2023).
Dalam situasi tersebut, ia mengatakan, umumnya Bank Sentral akan menahan pembalikan arus modal dengan cara menaikkan tingkat suku bunga acuan. Seperti BI-7 Day yang kini sudah berada pada 5,75% sejak 19 Januari 2023.
Pada tingkat pembalikan arus modal yang lebih parah, maka ada baiknya mempertimbangkan penurunan pajak obligasi dan menggalakkan dedolarisasi, kata Batara.
“Sepanjang gelombang perekonomian Amerika belum stabil, maka tetap akan berdampak pada perekonomian Indonesia, tergantung bagaimana Bank Sentral menyikapinya,” katanya.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
‘Gosipin’ Krisis Bank AS, Buffett Kontak ‘Tangan Kanan’ Biden
(Zefanya Aprilia/ayh)
Sumber: www.cnbcindonesia.com