Jakarta, CNBC Indonesia – Pesatnya pengiriman surat di Hindia Belanda berkembang setelah kedatangan orang Eropa. Penulisan surat dilakukan untuk menjaga keberlangsungan bisnis mereka. Sayang, kegiatan ini tak berjalan mulus sebab sering terjadi perampokan saat pengantaran barang. Alhasil, pesan tersebut tak tersampaikan.
Situasi ini mendorong Gubernur Jenderal GW Baron van Imhof mendirikan kantor pos pada 26 Agustus 1746 di Batavia. Tujuannya untuk lebih menjamin keamanan surat-surat penduduk, terutama bagi mereka yang berdagang dari kantor-kantor di luar Jawa. Mengutip buku Melayani Rakyat Menjaga Negara (2011), sistemnya masyarakat hanya perlu menitipkan surat kepada kantor pos supaya suratnya aman. Sejak itu, kantor pos menjadi andalan masyarakat selama puluhan tahun, sekaligus juga menjadi awal kejayaannya.
Seiring waktu bergulir, kantor pos semakin tertimpa ‘durian runtuh’ usai pembukaan Jalan Raya Anyer-Panarukan pada 1809, hadirnya kereta sejak 1864, dan pembukaan Terusan Suez pada 1869. Intinya, ketiga objek tersebut membuat animo masyarakat melakukan pengiriman surat semakin meningkat. Sebab, pengiriman surat menjadi lebih cepat sampai, bahkan hingga ke luar negeri.
Adanya Jalan Raya Anyer-Panarukan mampu memangkas waktu pengiriman dari 4 hari menjadi 1 hari. Ini belum lagi pengiriman yang makin cepat berkat kereta. Lalu, Terusan Suez memotong waktu tempuh pengiriman ke Eropa hanya dengan 10 bulan, dari yang biasanya setahun lebih.
Menurut J. Stroomberg dalam Hindia Belanda 1930 (1930), ini semua membuat Dinas Pos menjadi raja di sektor perdagangan non-hasil bumi. Kejayaan ini semakin tak terkalahkan ketika pemerintah kolonial menggabungkan Dinas Pos dan Dinas Telegraf menjadi satu badan bernamaPostenTelegrafdienst (jawatan pos dan telegraf). Telegraf sendiri saat itu menjadi alternatif pengiriman pesan di Hindia Belanda, tetapianimonya tidak setinggi pengiriman pesan lewat prangko.
J. Stroomberg menghitung sampai tahun 1928, ada ratusan ribu surat yang sudah dikirim melalui 500-an kantor pos di Hindia Belanda. Meski tak begitu besar dibanding mengeruk kekayaan alam, bisnis persuratan mampu membuat ‘hidup’ pemerintah kolonial.
Setelah Indonesia merdeka, pengiriman surat tetap menjadi andalan. Karena memang itulah satu-satunya cara berkomunikasi tanpa tatap muka secara murah. Pada 1961, Posten Telegrafdienst diubah menjadi Perusahaan Negara Postel (PN Postel) dan berubah lagi menjadi PN Pos dan Giro pada 1965.
Mengutip On Becoming a Customer-Centric Company (2004), BUMN negara ini kemudian memegang kendali besar di urusan komunikasi. PN Pos mengurusi persuratan dan Giro mengurusi komunikasi. Di masa orde baru perusahaan ini mencapai kejayaan terbesarnya. Tingginya pertumbuhan masyarakat semakin tinggi pula kebutuhan berkomunikasi. Ada yang menulis surat, ada pula yang menelpon di warung telepon.
“Sejak tahun 1968 sampai 1971, PN Pos & Giro mendapat untung Rp 17 juta. Setelahnya, semakin meningkat ketika Presiden Soeharto memperluas pembangunan jaringan pos dan telekomunikasi. Perusahaan ini sangat memonopoli,” tulis Yogyantara dalam Perkembangan PT.Pos Indonesia Tahun 1961-1995 (2017)
Memasuki tahun 1990-an, bisnis ini mulai mengendur karena muncul pesaing dari pihak swasta. Pada 1995, PN Pos & Giro cerai, menjadi PT Pos Indonesia dan PT Telkom. Perceraian ini kemudian menjadi awal mula keruntuhan bisnis persuratan. Perkembangan teknologi membuat urusan komunikasi makin mudah, surat mulai ditinggal.
Memasuki tahun 2000, adalah titik terendah dari PT. Pos Indonesia. Bisnis surat menurun drastis. Kejayaan masa lalu hilang dan perlahan mati suri. Ini tidak terjadi bagi saudaranya Telkom yang semakin berjaya. Kini, BUMN pertama dan tertua di Indonesia itu terus bangkit dan menghindari kematian dengan mencoba lini usaha baru, mulai dari sektor pengiriman barang, pelayanan, dan properti.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Telkom Perkuat Ekosistem Data Center NeutraDC & neuCentrIX
(mfa/mfa)
Sumber: www.cnbcindonesia.com