Jakarta, CNBC Indonesia – Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) mewanti-wanti bahwa perekonomian global akan menghadapi masa yang sulit pada 2023. Bahkan, sepertiga ekonomi dunia berada dalam resesi.
Ramalan itu memang cukup mengerikan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpengaruh. Bahkan, indeks menyentuh penurunan terdalam perdananya di tahun ini kemarin.
Pada penutupan perdagangan kemarin, indeks kehilangan 75,52 poin atau setara 1,10% ke level 6.813,24. Indeks tersandung sejumlah saham big cap yang juga berguguran.
Meski ngeri, ramalan itu bukan tanpa alasan. Pasalnya, tiga mesin utama ekonomi dunia yakni Amerika Serikat (AS), China, dan Uni Eropa bakal melambat.
“Kami memperkirakan sepertiga ekonomi dunia berada dalam resesi. Bahkan negara yang tidak dalam resesi, akan terasa seperti resesi bagi ratusan juta orang,” ujar Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva dalam wawancara dengan CBS Face the Nation, dikutip Rabu (4/1/2023).
Di China, menurut Georgieva, laju ekonomi China pada 2022 kemungkinan di bawah pertumbuhan ekonomi global untuk pertama kalinya dalam 40 tahun karena lonjakan kasus Covid-19.
“Untuk pertama kalinya dalam 40 tahun, pertumbuhan China pada 2022 kemungkinan berada di bawah atau di bawah pertumbuhan global,” kata Georgieva.
Peningkatan kasus Covid-19 setidaknya setahun terakhir membuat Negeri Tirai Bambu tersebut menerapkan sejumlah pembatasan yang membuat aktivitas ekonomi kembali terhambat.
Bahkan, lonjakan baru kasus Covid-19 yang diperkirakan terjadi di China dalam beberapa bulan ke depan kemungkinan akan makin memukul ekonominya tahun ini dan menyeret pertumbuhan regional dan global.
“Untuk beberapa bulan ke depan, akan sulit bagi China, dan dampaknya terhadap pertumbuhan China akan negatif, dampaknya terhadap kawasan akan negatif, dampak terhadap pertumbuhan global akan negatif,” ujar Georgieva.
Dalam perkiraan pada Oktober 2022, IMF mematok pertumbuhan produk Domestik Bruto (PDB) China tahun lalu sebesar 3,2%, atau setara dengan prospek global IMF untuk 2022.
AS Masih Tangguh?
Sementara itu, kata Georgieva, ekonomi AS berdiri terpisah dan dapat menghindari kontraksi langsung yang kemungkinan akan menimpa sepertiga dari ekonomi dunia.
“AS paling tangguh, dapat menghindari resesi. Kami melihat pasar tenaga kerja tetap cukup kuat,” katanya.
Namun, fakta itu sendiri menghadirkan risiko karena dapat menghambat kemajuan yang perlu dibuat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dalam membawa inflasi AS kembali ke level yang ditargetkan sebesar 2%.
“Ini adalah … berkah campuran karena jika pasar tenaga kerja sangat kuat, Fed mungkin harus mempertahankan suku bunga lebih lama untuk menurunkan inflasi,” kata Georgieva.
Tahun lalu, dalam pengetatan kebijakan yang paling agresif sejak awal 1980-an, The Fed menaikkan suku bunga acuannya dari mendekati nol pada Maret ke kisaran saat ini 4,25% hingga 4,50%, dan pejabat The Fed bulan lalu memproyeksikan akan menembus batas 5% pada 2023, level yang tidak terlihat sejak 2007.
Adapun, pasar kerja AS akan menjadi fokus utama bagi pejabat The Fed yang ingin melihat permintaan tenaga kerja berkurang untuk membantu mengurangi tekanan harga.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Ditinggal Asing, Begini Suasana Kebatinan IHSG Hari Ini
(dhf/dhf)
Sumber: www.cnbcindonesia.com