Kebal Isu Suntik Mati PLTU, Harga Batu Bara Melesat 5%!

Jakarta, CNBC Indonesia – Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 sukses digelar di Bali pekan ini. Indonesia mendapat “hadiah” dari Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden.

Read More

Biden menuturkan bahwa negaranya dan negara G7 berkomitmen untuk mendanai hingga US$ 20 miliar atau sekitar Rp 311 triliun (asumsi kurs Rp 15.564 per US$) untuk mempercepat pelaksanaan transisi energi di Indonesia.

Pendanaan ini nantinya dimasukkan ke dalam payung Just Energy Transition Partnership (JETP) yang dipimpin AS dan Jepang agar Indonesia mencapai Net Zero Emissions (NZE), salah satunya untuk “suntik mati” PLTU.

“Bersama kita memobilisasi US$ 20 miliar dalam pengembangan EBT dan mendukung transisi energi untuk menjauhi batu bara,” tuturnya saat KTT G20 di Bali, Selasa (15/11/2022).

Dana ini akan dipakai untuk mendorong proyek berbasis energi terbarukan seperti mendukung pengembangan kendaraan listrik dan teknologi.

“Ini juga bisa menciptakan lapangan kerja dan bisa berkontribusi untuk mengurangi dampak perubahan iklim global,” ucapnya.

Ketika PLTU “disuntik mati”, maka permintaannya batu bara tentunya akan berkurang dan harganya pun turun. Tetapi nyatanya harga batu bara malah melesat 5% di pekan ini menjadi US$ 343,45/ton. Kenaikan tersebut menjadi yang pertama setelah merosot dalam 4 pekan beruntun.


Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi dan Batu Bara Indonesia (Aspebindo) Anggawira mengingatkan agar Indonesia tetap perlu berhati-hati dalam melakukan transisi energi. Pasalnya, realita global yang terjadi saat ini yakni permintaan akan energi fosil justru sedang mengalami peningkatan.

“Faktanya memang ternyata permintaan energi fosil, terutama batu bara sangat meningkat, ini memang kita juga harus sangat hati-hati melihat situasi yang ada saat ini. Tentunya kita punya komitmen untuk membuat energi bersih, tapi situasi global yang ada saat sekarang ini bisa menjadi referensi kita juga ke depannya,” kata dia dalam acara ‘Mining Zone’ CNBC Indonesia, Jumat (18/11/2022).

Selain permintaan yang masih tinggi, supply dari Australia juga mengalami gangguan.

Dilansir dari Argus Media, fenomena La Nina masih sangat terasa. Kondisi ini membuat produsen Australia akan kesulitan memenuhi permintaan untuk musim semi dan panas tahun depan.

La Nina membuat cuaca lebih hangat dan lebih lembab. Fenomena La Nina meningkatkan curah hujan sehingga akan terjadi hujan pada musim kemarau sehingga musim panas akan basah. Kondisi ini membuat cuaca lebih basah sehingga mengganggu proses penambangan.

La Nina membuat Australia berkali-kali diterpa banjir pada musim ini, mulai dari Maret, Juli, dan Oktober.

Produsen besar Australia, termasuk raksasa Whitehaven, sudah memangkas target produksi batu bara tahun ini karena gangguan banjir dan derasnya hujan.

Gangguan cuaca juga sudah berkali-kali membuat produksi batu bara Australia terganggu dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu yang terbesar adalah pada 2020/2021. Banjir pada periode tersebut memaksa 40 dari 50 tambang di Queensland terdampak. Kerugian mencapai A$ 2 miliar.

TIM RISET CNBC INDONESIA

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Sepekan Berjaya, Batu Bara Kembali ke Atas US$ 400/ton

(pap/pap)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts