Jakarta, CNBC Indonesia – Bursa Asia-Pasifik dibuka cenderung bervariasi pada perdagangan Rabu (13/9/2023), saat investor menilai data ekonomi utama dari Jepang dan Korea Selatan serta menanti rilis data inflasi Amerika Serikat (AS).
Per pukul 08:30 WIB, indeks Nikkei 225 Jepang naik tipis 0,05%, Hang Seng Hong Kong menguat 0,75%, dan KOSPI Korea Selatan terapresiasi 0,21%.
Sedangkan untuk indeks Shanghai Composite China turun tipis 0,08%, Straits Times Singapura juga terkoreksi tipis 0,05%, dan ASX 200 Australia melemah 0,55%.
Dari Korea Selatan, tingkat pengangguran periode Agustus mencapai 2%, terendah sejak Juni 1999.
Sementara itu dari Jepang, kepercayaan perusahaan terhadap Jepang turun pada September, baik di kalangan produsen maupun non-produsen, menurut jajak pendapat Reuters Tankan.
Keyakinan di antara produsen besar turun ke 4, dari sebelumnya 12 di Agustus. Indeks non-produsen turun sembilan poin hingga mencapai 23 di September.
Di lain sisi, bursa Asia-Pasifik yang cenderung beragam terjadi di tengah terkoreksinya bursa saham AS, Wall Street pada penutupan perdagangan kemarin.
Indeks Dow Jones ditutup turun tipis 0,05%, S&P 500 melemah 0,57%, dan Nasdaq Composite ambles 1,04%.
Melemahnya Wall Street berbanding terbalik dengan perdagangan hari sebelumnya di mana ketiga bursa kompak mengakhiri perdagangan di zona hijau.
Saham berbasis teknologi dan digital seperti Amazon, Alphabet, dan Microsoft juga melemah. Apple yang baru saja meluncurkan iPhone model terbaru iPhone 15 juga ambles 1,71% pada perdagangan kemarin. Alhasil, saham-saham teknologi memberatkan indeks Nasdaq.
Kembali merananya lagi bursa saham acuan Negeri Paman Sam disinyalir karena sikap pasar yang mengantisipasi rilis data inflasi AS yang akan dirilis hari ini atau Rabu malam waktu Indonesia.
Data inflasi AS periode Agustus 2023 diprediksi melonjak ke 3,6% secara tahunan (year-on-year/yoy) dari bulan sebelumnya sebesar 3,2% (yoy), berdasarkan konsensus pasar dalamTrading Economics.
Apabila inflasi naik sesuai perkiraan, ini bakal menjadi kenaikan kedua yang terjadi setelah mencapai titik terendah 3% (yoy) pada Juni lalu.
Sementara dari inflasi inti diperkirakan akan melandai ke 4,3% (yoy) dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 4,7% (yoy). Kendati melandai, secara keseluruhan nilai inflasi dan inti masih jauh dari target bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) di sekitar 2%.
Target inflasi tersebut tampaknya masih sulit untuk dicapai bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) tahun ini, mengingat harga minyak mentah global yang masih lanjut naik akibat supply minyak yang ketat.
Pada perdagangan kemarin (12/9/2023) harga minyak mentah dunia masih terpantau menguat secara harian. Harga minyak light sweet West Texas Intermediate (WTI) melonjak 2,09% menjadi US$ 89,10 per barel, sementara harga minyak Brent melesat 1,56% ke posisi US$ 92,05 per barel.
Kenaikan kemarin mengakumulasi lonjakan harga selama sebulan terakhir pada minyak WTI sebesar 8,89%, sedangkan Brent melejit 7,73%.
Melesatnya harga minyak terjadi karena ketatnya pasokan akibat Saudi Arabia, salah satu negara produsen minyak terbesar dunia yang tergabung dalam OPEC+ menyatakan akan melanjutkan pemangkasan produksi sekitar 1 juta barel per hari hingga akhir 2023.
Tak hanya itu, Rusia juga memangkas sekitar 300.000 barel per hari hingga periode yang sama. Data Energy Information Administration (EIA) juga menunjukkan adanya penyusutan persediaan minyak AS sebanyak 6,3 juta barel minggu lalu, nilai tersebut bahkan melampaui ekspektasi pasar yang hanya memperkirakan turun sekitar 2,1 juta barel.
Bagai pedang bermata dua, ketika inflasi naik sikap The Fed pada pertemuan pekan ketiga bulan ini berpotensi bisa lebih ketat atau menaikkan suku bunga lagi. Sebaliknya, jika kembali melandai ada potensi sikap The Fed bisa lebih melunak.
Namun, pelaku pasar yang memprediksi The Fed akan kembali menahan suku bunga acuannya di pertemuan bulan ini semakin kuat.
Hal ini juga semakin didukung dengan data yang ditunjukan CME Fedwatch Tool yang mengukur peluang suku bunga akan ditahan pada level 5,25% – 5,50% sudah semakin dominan, mencapai 93%.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Bursa Asia Dibuka Loyo, IHSG Bakal Pesta Sendirian Lagi?
(chd/chd)
Sumber: www.cnbcindonesia.com