Jakarta, CNBC Indonesia – Para pelaku pasar optimis harga minyak mentah dunia mulai pada jalur kebangkitan setelah beberapa bulan terakhir bearish.
Inflasi di Amerika Serikat diyakini akan makin “dingin” seiring dengan rilis harga konsumen Desember turun. Sementara itu China yang mulai mengabaikan kebijakan Zero-Covid menjadi bahan bakar bagi minyak untuk harganya melaju.
Pada perdagangan Kamis (12/1/2022) harga minyak mentah Brent tercatat US$84,03 per barel, naik 1,7% dibandingkan hari sebelumnya. Sedangkan jenis light sweet atau West Texs Intermediate (WTI) menguat 1,3% menjadi US$78,39 per barel.
Data harga konsumen AS turun 0,1% menunjukkan inflasi sekarang dalam tren menurun yang berkelanjutan. Hal ini membuat dolar AS jatuh ke dekat posisi terendah dalam 9 bulan karena harapan The Fed akan kurang agresif dengan kenaikan suku bunga.
“Pasar menantikan data IHK dan kemungkinan kuat angka tersebut akan menyebabkan penurunan dolar, dengan korelasi terbalik yang meningkatkan penawaran minyak mentah,” kata Bob Yawger, direktur energi berjangka di Mizuho di New York. . “Minyak Mentah sekarang menikmati dolar yang lemah.”
Pada hari Rabu, kedua tolok ukur minyak melonjak 3% di tengah harapan prospek ekonomi global mungkin tidak sesuram yang dikhawatirkan banyak orang .
“Pendaratan yang lebih lembut untuk AS, dan mungkin di tempat lain, dikombinasikan dengan pemulihan ekonomi yang kuat di China setelah gelombang COVID saat ini dapat menghasilkan tahun yang jauh lebih baik daripada yang ditakuti dan merangsang permintaan minyak mentah tambahan,” kata Craig Erlam dari broker OANDA sebelum CPI. data dikeluarkan.
Pasar juga mengantisipasi pembatasan tambahan pada pasokan minyak Rusia karena sanksi atas invasi ke Ukraina.
Administrasi Informasi Energi AS (EIA) mengatakan larangan oleh Uni Eropa terhadap impor produk minyak bumi dari Rusia pada 5 Februari bisa lebih mengganggu daripada larangan UE atas impor minyak mentah melalui laut dari Rusia yang diterapkan pada Desember 2022.
Membatasi kenaikan minyak adalah lompatan besar dan tak terduga dalam persediaan minyak mentah AS .
“Selain faktor China dan peningkatan ekuitas baru-baru ini di tengah beberapa pelemahan dolar, kompleks tersebut tampaknya tidak memiliki banyak dorongan bullish, terutama jika dilihat dalam konteks neraca minyak mentah dan produk AS yang transparan,” kata Jim Ritterbusch dari konsultasi Ritterbusch and Associates .
TIM RISET CNBC INDONESIA
Artikel Selanjutnya
Bukan Kabar Baik, Harga Minyak Dunia Melesat 5% Lebih
(ras/ras)
Sumber: www.cnbcindonesia.com