Jakarta, CNBC Indonesia – Mayoritas bursa Asia-Pasifik dibuka terkoreksi pada perdagangan Jumat (17/2/2023), mengikuti bursa Amerika Serikat (AS) yang juga terpuruk karena memanasnya lagi data inflasi dan masih kuatnya data tenaga kerja di AS.
Hanya indeks Straits Times Singapura yang dibuka menguat pada hari ini, yakni menguat 0,36%.
Sedangkan sisanya dibuka terkoreksi. Indeks Nikkei 225 Jepang dibuka melemah 0,78%, Hang Seng Hong Kong turun tipis 0,02%, Shanghai Composite China turun 0,1%, ASX 200 Australia terkoreksi 0,5%, dan KOSPI Korea Selatan ambles 1,12%.
Dari Australia, gubernur bank sentral (Reserve Bank of Australia/RBA), Philip Lowe memperingatkan bahwa risiko inflasi tinggi masih akan terjadi di Australia, jika tidak dikendalikan pada waktu yang tepat.
Berbicara di komite ekonomi di DPR Australia, Lowe mencatat bahwa inflasi Negeri Kanguru telah mencapai 7,8% pada Desember 2022, menjadi yang tertinggi sejak 1990.
Menyebut inflasi tinggi “merusak” dan “korosif”, Lowe juga mencatat bahwa “Memang berbahaya, tidak menahan dan membalikkan periode inflasi tinggi ini.”
“Jika kita tidak mengatasi inflasi dan menurunkannya tepat waktu, hasil akhirnya adalah suku bunga yang lebih tinggi dan lebih banyak pengangguran di masa depan,” ujar Lowe.
Di lain sisi, pergerakan bursa Asia-Pasifik pada hari ini cenderung kembali mengikuti pergerakan bursa saham AS, Wall Street kemarin yang secara mayoritas ditutup berjatuhan, karena memanasnya kembali inflasi dan masih kuatnya data tenaga kerja di AS.
Indeks Dow Jones ditutup ambles 1,26%, S&P 500 ambrol 1,38%, dan Nasdaq Composite berakhir ambruk 1,78%.
Hal ini terjadi seiring laporan indikator inflasi yang kembali memanas dan dapat menekan bank sentral AS alias The Fed kembali mengerek suku bunga.
Melansir CNBC International, indeks harga produsen (producer price index/PPI) AS per Januari lalu, yang menjadi indikator inflasi selain indeks harga konsumen (consumer price index/CPI) naik 0,7%.
Angka tersebut berada di atas ekspektasi ekonom yang disurvei Dow Jones sebesar 0,4%. Selain itu, data klaim pengangguran awal pada periode mingguan yang berakhir pada 11 Februari secara tak terduga mengalami penurunan.
Klaim pengangguran mingguan untuk pekan yang berakhir 11 Februari turun menjadi 194.000 klaim, dari pekan sebelumnya sebesar 195.000 klaim. Angka ini juga lebih rendah dari prediksi pasar yang memperkirakan klaim bertambah menjadi 200.000.
Dengan turunnya data klaim pengangguran tersebut, maka dapat dikatakan bahwa data tenaga kerja di Negeri Paman Sam masih cukup kuat dan hal inilah yang membuat investor kembali khawatir bahwa inflasi di AS akan lebih sulit untuk turun, atau bahkan kembali naik.
Tak hanya pasar saja, The Fed juga tidak akan mengubah sikap hawkish-nya selama data tenaga kerja masih cukup kuat.
Hal ini pun sudah dikonfirmasi oleh salah satu pejabat The Fed, yakni Presiden The Fed wilayah Cleveland Loretta Mester, di mana dia lebih memilih kenaikan suku bunga sebesar 50 basis poin (bp) ketimbang 25 bp yang dilakukan pada rapat akhir Januari lalu juga ikut mempengaruhi pasar.
Mester bilang, seharusnya The Fed bertindak lebih agresif dalam rapat terakhir.
Di hadapan civitas akademika Sarasota-Manate College of Business Universitas South Florida, Mester menjelaskan, dia masih ’emoh’ mengubah pendiriannya soal The Fed perlu mengerek suku bunga di atas 5% demi mengontrol inflasi.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Kabar Baik Buat IHSG, Wall Street Cerah, Bursa Asia Meroket!
(chd/chd)
Sumber: www.cnbcindonesia.com