Dapat Julukan Bank Cari Aman, BBCA Gak Produktif

Jakarta, CNBC Indonesia – Sejauh ini PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dikenal sebagai salah satu bank paling bonafidedi Tanah Air. Dibalik kinerjanya yang senantiasa gemilang, sebenarnya ada beberapa hal yang layak untuk diperhatikan terutama sebagai investor, mulai dari produktivitas yang buruk, hingga ketergantungan pendapatan non bunga dari fee-based income.

Read More

Bisnis utama bank sebagai lembaga keuangan intermediasi adalah menghimpun pendanaan dari masyarakat dan menyalurkannya dalam bentuk kredit.

Proporsi antara jumlah dana yang berhasil dihimpun dibandingkan dengan dana yang tersalur dalam bentuk kredit atau yang lebih dikenal dengan istilah umum Loan to Deposit Ratio (LDR) menjadi indikator likuiditas sebuah bank.

Mengacu pada laporan kinerja keuangan BBCA untuk tahun buku 2022, total kredit bank yang dikuasai oleh Grup Djarum ini mencapai Rp 711,3 triliun atau tumbuh 11,7% dibandingkan dengan tahun 2021.

Dari sisi funding, total Dana Pihak Ketiga (DPK) BBCA tercatat mencapai Rp 1.039,7 triliun atau tumbuh 6,5% dibandingkan tahun 2021.

Sekilas, pertumbuhan DPK tampak lebih rendah dari penyaluran kredit. Kondisi tersebut mengembalikan tren yang terjadi sejak Covid-19 ketika kredit terkontraksi tetapi DPK yang berhasil dihimpun tumbuh dobel digit yang membuat likuiditas bank menjadi melimpah.

Melimpahnya likuiditas BBCA juga tercermin dari rasio LDR. Hingga Desember 2022, LDR BBCA tercatat sebesar 68,4% bahkan jika menggunakan angka yang lebih luas yaitu Loan to Funding Ratio (LFR) yang menunjukkan rasio antara penyaluran kredit terhadap penghimpunan dana yang lebih luas dan tidak terbatas pada dana nasabah, rasionya berada di 65,2%.


Jika dibandingkan dengan kelompok bank KBMI IV lain yang memiliki LDR di atas 80% jelas bahwa BBCA memiliki likuiditas yang sangat melimpah. Secara sederhana, BBCA masih memiliki spare atau ruang likuiditas hingga Rp 328,5 triliun pada Desember 2022.

Bahkan dengan pertumbuhan kredit yang mencapai dobel digit tahun lalu, likuiditas BBCA jauh sangat melimpah. Bagi bank likuiditas yang kering tentu akan membahayakan. Namun terlalu banyaknya likuiditas juga menimbulkan masalah karena menjadi kurang produktif karena likuiditas yang tersedia kurang dioptimalkan.

Bayangkan saja, jika sebagian kecil dari ruang likuiditas tadi masuk ke kredit. Katakan Rp 50 triliun saja sehingga kredit BBCA dapat tumbuh 19,5% maka LDR BBCA masih tergolong rendah di kisaran 73% dan banjir likuiditas masih terjadi.


Artinya dengan strategi menggenjot pertumbuhan kredit hingga hampir 12% atau sedikit lebih tinggi dari industri BBCA masih mengambil strategi yang cenderung ‘main aman’.

Jika saja BBCA mau lebih agresif dalam menggenjot kredit, dengan bunga per tahun mencapai 10% saja, maka akan ada tambahan sekitar Rp 5 triliun pendapatan bunga belum dikurangi biaya pencadangan untuk mengantisipasi sebagian dari munculnya kredit macet.

Namun yang perlu dipahami, sejauh ini BBCA termasuk konservatif dalam memilih debitur sehingga rasio kredit macet bisa ditekan rendah. Bahkan di tahun 2022 rasio kredit macet NPL BBCA sudah berada di bawah 2% dan di bawah rata-rata industri.

BBCA juga cenderung bermain aman dengan menyalurkan kredit ke segmen low risk seperti kredit korporasi. Well, strategi bermain aman ini sebenarnya bisa didorong lebih agresif lagi. Toh rasio dana murah BBCA juga sangat tinggi.

Hingga Desember 2022, rasio dana murah yang dikenal dengan CASA BBCA tembus di atas 80%, yang membuat biaya atas dana atau Cost of Fund (CoF) BBCA juga tergolong manageable. Dengan rasio dana murah yang tinggi dan mendominasi funding serta, segmen kredit yang low risk sebenarnya memberikan ruang untuk BBCA sedikit lebih agresif.

Pada akhirnya BBCA memang harus lebih produktif lagi. Jika suatu bank diibaratkan sebagaimana pabrik. Rasio LDR yang tinggi menunjukkan kapasitas utilisasi yang rendah sehingga menjadi kurang produktif. Padahal tambahan pendapatan bunga juga bisa mendongkrak marjin bunga bersih (NIM) BBCA lebih dari sekadar 5,3% yang dicatatkan tahun lalu.

Selain faktor likuiditas yang berlimpah, struktur pendapatan bank terbesar dari sisi market cap ini juga masih banyak ditopang oleh fee-based income. Pada tahun 2022, fee-based income BBCA mencapai Rp 16,6 triliun atau berkontribusi hingga 73,1% dari pendapatan non-bunga dan 19,1% dari total pendapatan operasional.

Dengan pertumbuhan fee based income tahunan mencapai 13%, kontribusinya terhadap pendapatan non-bunga dan pendapatan operasional meningkat dari tahun 2021 yang hanya 68,5% dan 18,8%. Keberhasilan mendorong fee-based income dikarenakan BBCA yang mampu meningkatkan transaksi dari nasabahnya.


Di satu sisi ini bagus, tetapi di sisi lain struktur pendapatan sedemikian rupa juga harus diwaspadai apalagi Bank Indonesia (BI) terus mendorong implementasi BI-Fast yang membuat fee menjadi lebih rendah. Artinya, sebagai bank, untuk mengkompensasi fee yang lebih rendah harus dilakukan dengan mendorong volume transaksi. Pertanyaannya, sampai kapan bank mampu mendorong volume transaksi untuk terus naik?

Pada akhirnya BBCA memang harus mulai mengatur ulang strategi dengan memanfaatkan likuiditas yang berlimpah dan mengurangi ketergantungan pendapatan non bunga dari fee-based income.



CNBC Indonesia Research

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Saktinya IHSG Tahun Ini! Tiga Kali Tumbang, Tiga Kali Bangkit

(mum/mum)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts