Jakarta, CNBC Indonesia – Mayoritas bursa Asia-Pasifik ditutup melemah pada perdagangan Selasa (10/1/2023), di mana investor kembali khawatir bahwa resesi bakal terjadi pada tahun ini.
Hanya indeks Nikkei 225 Jepang dan KOSPI Korea Selatan yang ditutup di zona hijau pada hari ini. Nikkei menguat 0,78% ke posisi 26.175,6, sedangkan KOSPI naik tipis 0,05% ke 2.351,31.
Sementara sisanya ditutup di zona merah. Indeks Hang Seng Hong Kong ditutup melemah 0,27% ke posisi 21.331,46, Shanghai Composite China terkoreksi 0,21% ke 3.169,51, Straits Times Singapura ambles 1,29% ke 3.262,91, ASX 200 Australia terpangkas 0,28% ke 7.131, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot 0,98% menjadi 6.622,5.
Investor masih cenderung khawatir dengan potensi resesi global yang bakal terjadi pada tahun ini. Apalagi, beberapa bank sentral mulai mengoleksi emas yang dianggap sebagai salah satu aset safe haven, di mana salah satunya yakni bank sentral China (People Bank of China/PBoC).
PBoC memborong emas dalam jumlah yang besar dalam dua bulan terakhir. World Gold Council (WGC) pada Jumat pekan lalu melaporkan bahwa bank sentral Negeri Panda tersebut memborong emas sebanyak 32 ton pada November 2022.
Pembelian emas oleh PBoC adalah yang pertama kali sejak September 2019 atau lebih dari tiga tahun lalu.
Tidak hanya China, bank sentral lainnya juga memborong emas pada tahun lalu. WGC melaporkan jumlah pembelian tersebut menjadi yang terbesar dalam 55 tahun terakhir.
Emas yang kembali diburu oleh beberapa bank sentral bukanlah tanpa penyebab. Tanda-tanda resesi global, terutama di Amerika Serikat (AS) sudah mulai terlihat, salah satunya dari data aktivitas jasa menurut ISM pekan lalu.
ISM melaporkan purchasing managers’ index (PMI) jasa turun menjadi 49,6 jauh dari bulan sebelumnya 56,5. Angka di bawah 50 berarti kontraksi, sementara di atasnya adalah ekspansi.
Untuk diketahui sektor jasa merupakan kontributor terbesar produk domestik bruto (PDB) AS berdasarkan lapangan usaha. Kontribusinya tidak pernah kurang dari 70%.
Selain itu, sektor tenaga kerja yang masih cukup kuat di AS membuat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) berpotensi masih akan menahan sikap hawkish-nya.
Pada Jumat pekan lalu, data tenaga kerja non-farm payrolls (NFP) AS per Desember 2022 naik 223.000, dari sebelumnya pada November 2022 sebesar 256.000.
Di lain sisi, tingkat pengangguran di AS pada Desember 2022 terpantau turun menjadi 3,5%, dari sebelumnya sebesar 3,6% pada November 2022.
Dengan ini, maka The Fed berpotensi masih akan mempertahankan sikap hawkish-nya dengan menaikkan suku bunga acuan.
Para pejabat The Fed berkomitmen untuk memerangi inflasi dan mengharapkan suku bunga yang lebih tinggi tetap berlaku sampai lebih banyak kemajuan dibuat.
The Fed (dan bank sentral utama lainnya) justru “mengharapkan” pasar tenaga kerja melemah, bahkan jika perlu resesi segera terjadi.
Hal tersebut diperlukan untuk menurunkan inflasi yang sangat tinggi. Ketika pasar tenaga kerja kuat, maka daya beli masyarakat juga masih akan kuat, hal ini tentunya sulit menurunkan inflasi.
Alhasil, suku bunga bisa semakin tinggi dan ditahan lebih lama lagi sampai inflasi menurun. Jika itu terjadi, maka resesi yang akan dialami AS dan negara maju lainnya bisa jadi akan dalam dan panjang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Sinyal Nggak Enak Buat IHSG Nih… Bursa Asia Loyo Lagi
(chd/chd)
Sumber: www.cnbcindonesia.com