Cetak Rekor Terlemah 2022, Rupiah Jadi Terburuk di Asia!

Jakarta, CNBC Indonesia – Kurs rupiah terlibas dolar Amerika Serikat (AS) hingga pada pertengahan perdagangan Kamis (29/12/2022), bahkan menjadi mata uang yang terkoreksi paling tajam di Asia. Padahal, mayoritas mata uang di Asia sukses menguat.

Read More

Mengacu pada data Refinitiv, pada pembukaan perdagangan rupiah terkoreksi 0,26% ke Rp 15.740/US$. Kemudian, rupiah sukses memangkas koreksinya menjadi hanya sebesar 0,19% ke Rp 15.730/US$ pada pukul 11:00 WIB. Mata Uang Garuda bahkan menyentuh rekor terlemah tahun ini.

China akhirnya melonggarkan kebijakan terkait Covid, di mana China akan mencabut persyaratan karantina untuk semua pelancong yang datang dari luar perbatasan mulai Januari 2023. Kabar tersebut di umumkan oleh Komisi Kesehatan Nasional (NHC) awal pekan ini.

Kabar baik tersebut sempat membuat sentimen global kondusif sebab potensi pertumbuhan ekonomi kembali meningkat. Namun, peluang penyebaran virus Covid nyatanya kembali meresahkan para pelaku pasar.

“Banyak negara mengadopsi lapisan pengujian tambahan untuk pelancong yang datang dari China mencerminkan dimulainya kembali perjalanan yang tertatih-tatih di tengah wabah China,” kata Vishnu Varathan, kepala ekonomi dan strategi di Mizuho Bank dikutip Reuters.

“Ini mungkin juga memicu kekhawatiran akan jenis baru COVID yang sekali lagi dapat mengganggu pemulihan global,” tambahnya.

Analis Bank of Singapore juga menyatakan kekhawatirannya, bahwa pelonggaran di China dapat berjalan secara jangka menengah.

“Dalam waktu dekat, masih ada tanda tanya besar seberapa cepat kita bisa mengatasi kebangkitan COVID ini, tapi dalam jangka menengah … saya pikir prospek pertumbuhan China bisa lebih stabil dan tidak bergelombang, dan pada gilirannya berarti seluruh dunia juga bisa mendapat manfaat dari itu,” tutur Ahli Strategi Mata Uang di Bank of Singapore Moh Siong Sim.

Sehingga ketidakpastian atas prospek ekonomi global ke depannya kembali membayangi sentimen global.

Selain itu, imbal hasil (yield) obligasi AS kemarin. Yield obligasi tenor 10 tahun berada di 3,865% dan menjadi rekor tertinggi sejak bulan lalu. Sementara yield obligasi tenor 2 tahun berada di 4,3512%.

Dengan yield obligasi tenor jangka pendek berada di atas tenor jangka panjang, maka dianggap sebagai fenomerna kurva terbalik atau inverted yield curve.

Kurva terbalik tersebut dipandang oleh banyak orang sebagai sinyal bahwa resesi kemungkinan dapat berlangsung dalam 6 hingga 18 bulan ke depan. Penurunan yield obligasi 10 tahun jika disertai kenaikan yield obligasi 2 tahun menjadi kekhawatiran bagi investor secara luas, meskipun ada perdebatan apakah hal itu merupakan indikator yang paling dapat diandalkan.

Secara umum, yield obligasi 10 tahun merefleksikan persepsi jangka panjang akan kondisi ekonomi, sedangkan untuk obligasi 2 tahun lebih dipengaruhi oleh kebijakan moneter yang diambil The Fed. Ketika kebijakan moneter The Fed membuat yield obligasi jangka pendek naik dan diikuti oleh jatuhnya sentimen investor, kurva terbalik berpotensi terbentuk.

Kendati sentimen global kurang baik, tapi mayoritas mata uang di Asia masih sukses menguat. Baht Thailand dan yen Jepang terapresiasi paling tajam yang masing-masing sebesar 0,49% dan 0,46% terhadap dolar AS.

Sementara hanya rupiah dan rupee India yang melemah sebesar 0,19% dan 0,03% di hadapan si greenback. Dengan begitu, rupiah menjadi yang terburuk di Asia.



TIM RISET CNBC INDONESIA

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Rupiah Makin Nanjak ke Level Rp 14.600/US$, Juara di Asia!

(aaf/aaf)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts