Jakarta, CNBC Indonesia – Saham emiten batu bara ramai-ramai ambruk berjamaah setelah sempat terbang dalam dua tahun terakhir. Tercatat setidaknya terdapat 21 emiten batu bara yang mencatatkan return negatif sejak awal tahun, dengan yang terparah kehilangan seperlima kapitalisasi pasarnya.
Sektor energi yang semula menjadi penopang pergerakan IHSG tahun lalu, kini balik menjadi pemberat. Sektor tersebut menjadi yang paling dalam mengalami kontraksi, di mana sejak awal tahun 9,03%. Kinerja buruk tersebut ikut menyeret IHSG yang tercatat sebagai salah satu bursa utama global yang paling tertekan awal tahun ini.
Kinerja buruk saham batu bara sejalan dengan ambruknya harga batu bara acuan global ICE Newcastle yang sejak penutupan perdagangan hari terakhir tahun lalu, harganya turun 5,42%. Dalam sebulan harga batu bara telah melemah 8,32% dan sejak menyentuh rekor tertinggi awal September lalu, ambles 21%.
Secara kumulatif, 21 emiten batu bara yang melemah awal tahun ini berkontribusi atas lenyapnya Rp 81,19 triliun dalam kapitalisasi pasar bursa saham domestik. Adaro Energy Indonesia (ADRO) menjadi emiten dengan pelemahan paling dalam baik itu dari sisi persentase maupun besaran kapitalisasi yang terhapus. Sejak awal tahun saham emiten milik Garibaldi ‘Boy’ Thohir ini ambles 21,30% dengan kapitalisasi pasar perusahaan lenyap Rp 26,23 triliun.
Saham ADRO mulai masuk trajektori penurunan sejak akhir perdagangan yang mana namanya akan tercatat sebagai penerima dividen atau cum date pada 30 Desember lalu. Sejak itu, saham perusahaan nyaris bergerak eksklusif di zona merah.
Kemudian ada juga saham taipan terkaya RI, Bayan Resources (BYAN), yang meski hanya mengalami pelemahan 3,21% sejak awal tahun, namun berkontribusi atas hilangnya Rp 22,50 triliun dalam kapitalisasi pasar.
ADRO dan BYAN tercatat masuk dalam jajaran empat saham yang paling membebani IHSG awal tahun ini (laggard), dengan dua lainnya yakni Bank Rakyat Indonesia (BBRI) dan Astra Internasional (ASII).
Saham-saham emiten batu bara utama RI yang juga mengalami pelemahan cukup dalam tahun ini termasuk Bumi Resources (BUMI), Bukit Asam (PTBA), Indo Tambangraya Megah (ITMG) dan United Tractors (UNTR).
Pelemahan ini terjadi dikarenakan investor mulai mengukur langkah dan mengantisipasi penurunan harga komoditas yang ditakutkan akan memangkas kinerja pendapatan dan laba perusahaan. Selain itu membaiknya hubungan diplomatis antara China dan Australia tampaknya ikut membuat para investor waswas. China tahun ini telah mengangkat larangan impor tidak resmi atas batu bara Australia yang mulai dikenakan jelang akhir tahun 2020 lalu.
Meski demikian laporan sejumlah media dan analisis Tim Riset CNBC Indonesia menyebut dampak tersebut relatif terbatas, mengingat profil batu bara ekspor Australia dan Indonesia yang cukup berbeda.
Tahun lalu, sejumlah emiten batu bara RI mencatatkan kinerja gemilang akibat melonjaknya harga batu bara. Dalam empat kuartal terakhir yang laporan keuangannya tersedia, secara total laba emiten batu bara RI meningkat hingga 300%. Saat ini saham emiten batu bara juga diperdagangkan di harga yang relatif murah dengan rasio valuasi PER dan PBV tercatat rendah. Meski demikian angka rasio valuasi tersebut dapat naik tahun ini apabila harga batu bara kembali mendingin dan menekan kinerja laba perusahaan.
Kinerja buruk saham batu bara – dan sektor energi secara lebih luas – pada akhirnya menjadi pemberat utama dan membuat indeks acuan domestik babak belur. Sejak awal tahun IHSG tercatat melemah 2,37% dan menjadi salah satu yang terburuk di dunia dan hanya lebih baik dari catatan kinerja bursa saham Chile dan Turki. Sementara itu, mayoritas bursa saham global lainnya membuka tahun dalam kondisi ceria dengan catatan kinerja positif.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Market Focus: Inflasi AS Panas, IHSG Ambles Ke Zona Merah
(fsd)
Sumber: www.cnbcindonesia.com