BI Wajib Selamatkan APBN Saat RI Kena Krisis, Wajarkah?

Jakarta, CNBC Indonesia – Bank Indonesia mendapat mandat baru untuk membeli surat berharga negara (SBN) berjangka panjang di pasar perdana setiap masa krisis. Ini sebagaimana diatur dalam Pasal 36A Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK).

Read More

Selama masa Pandemi Covid-19 yang menyebabkan krisis keuangan pemerintah hingga defisitnya melebar, praktik ini sebetulnya telah dilakukan BI dalam rangka berbagi beban atau burden sharing dengan pemerintah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Namun, aturan itu membatasi pelaksanaannya hanya sampai 2022.

Lantas, dengan aturan baru dalam RUU PPSK itu, apa menjadi hal yang wajar pemerintah dapat terus mencari pendanaan atau utang dari BI setiap masa krisis terjadi?

Global Markets Economist Bank Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto mengatakan, praktik ini sebetulnya langkah yang wajar. Terutama karena setiap masa krisis pemerintah memang membutuhkan pendanaan terhadap APBN dengan tingkat bunga yang rendah, sebab jika harus mencari dari investor bunga yang diinginkan pasti tinggi.

“Kebutuhan pembiayaan negara di saat krisis memerlukan BI karena biaya fiskal menjadi lebih murah, dibandingkan harus mencari dari investor yang sudah pasti meminta imbal hasil tinggi,” kata Myrdal saat dihubungi, Jumat (9/12/2022).

Menurut Myrdal, praktik ini pun sebetulnya telah dilakukan di beberapa negara maju dengan istilah yang dikenal sebagai quantitative easing. Misalnya, oleh The Federal Reserve, Bank of England, European Central Bank, hingga Bank of Japan.

“Praktek ini bisa kita lihat dari bank sentral negara maju seperti the Fed, BOE, ECB, dan BOJ yang menjalankan kebijakan quantitative easing,” ujar Myrdal.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga telah memastikan, terbukanya ruang untuk BI melakukan burden sharing di saat krisis secara terus menerus tidak akan memicu risiko integritas atau moral hazard karena ayat 2 nya telah menetapkan kondisi krisis harus diumumkan presiden.

“Definisi krisis nanti harus dideklarasikan. Jadi ini tidak akan menimbulkan moral hazard setiap kali pemerintah nanti ada defisit nanti minta burden sharing, gak seperti itu,” ucap Sri Mulyani di kawasan DPR, Jakarta, Kamis (8/12/2022).

Menurut Sri, penetapan ini sebagaimana yang telah diatur saat Indonesia menghadapi krisis yang disebabkan Pandemi Covid-19. Ini tertuang dalam UU Nomor 2 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.

“Seperti kita lihat di UU Nomor 2 dan Perppu Nomor 1, definisi krisis dideklarasikan oleh Presiden. Sama seperti waktu kita menghadapi pandemi kan bukan menteri keuangan yang bilang ini krisis supaya BI mendanai. Tetapi ada protokol yang sangat ketat, kredibel, dan reliable,” tuturnya.

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Segera Dibahas, Ini Tanggapan Bank Mandiri Soal RUU PPSK!

(mij/mij)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts