Beda Dengan Bank, SLIK Tidak Selalu Relevan Bagi Fintech

Jakarta, CNBC Indonesia – Sekretaris Jenderal Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Sunu Widyatmoko menyebut Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) masih terkendala dalam mendapatkan pendanaan dari Lembaga jasa keuangan konvensional. Kendalanya, kata dia, adalah dibutuhkan aset untuk jaminan pinjaman dan laporan keuangan UMKM kerap kali masih merugi. Meskipun sering kali, UMKM memiliki cash flow yang positif.

Read More

Dalam hal ini, ia menyebut fintech dapat membantu pendanaan UMKM. Sunu menjelaskan bahwa peer to peer lending (P2P) berani memberikan pinjaman tanpa jaminan aset karena melihat dari risiko kegiatan usaha peminjamnya.

“Karena kita sudah mengkonformasi perputaran cash flow-nya. Jadi, ilustrasi, kalau tadi orang dagang di toko, ketahuan oplahnya dia sekian-sekian, sudah pasti dia kalau saya kasih uang pinjaman sekian, dia bisa bayar. Kegiatan usaha pertanian, kegiatan usaha peternakan, demikian juga. Kalau dia nanem, tiga bulan lagi panen, hasilnya sekian rupiah, pinjaman akan bisa terbayar,” ujarnya saat diskusi mengenai Peran Fintech dalam Digitalisasi UMKM, secara virtual pada Kamis (7/9/2023).

Hal ini membedakan fintech dengan lembaga jasa keuangan konvensional, dalam proses pemberian pinjaman. Sunu juga menyebut bahwa sistem layanan informasi keuangan (SLIK) tidak relevan bagi fintech.

Sebab, pertimbangan dari penyaluran pinjaman fintech berdasarkan risk managemen tatas peminjam.

“Mereka [fintech] hanya ingin memastikan selama risk management yang ada itu terlitigasi dengan baik, mereka akan memberikan pinjaman. Dan ini bukan hanya omong kosong, itu dilakukan oleh anggota kami, di mana memberikan pinjaman, SLIK-nya merah, tetapi dengan pendekatan asesmen dari sisi cash flow-nya dapat diantisipasi, sehingga pinjaman bisa dilakukan,” terang Sunu.

Ia memberikan ilustrasi, bila peminjam adalah seorang petani. Saat hasil dari budidaya pertanian itu dibeli dari suatu pihak tertentu, fintech memberikan kesepakatan nantinya pendanaan tidak dalam bentuk tunai, tetapi dalam bentuk sarana produksi pertanian. Kemudian saat sudah panen, pembayaran juga tidak berasal dari petani itu, tetapi dari pembeli hasil panennya.

“Maka kita menempatkan petani tersebut bukan sebagai peminjam, tapi sebagai pekerja. Dalam konteks seperti itu, maka SLIK itu menjadi kurang relevan di sini. Karena orang ini ditempatkan sebagai pekerja. Risikonya adalah risiko apabila gagal di dalam budidaya,” pungkas Sunu.

Berdasarkan riset AFPI sebelumnya, permintaan pembiayaan UMKM masih belum merata dan masih terpusat di Jawa dan Bali, yakni 62% dari total pembiayaan UMKM di Indonesia pada 2022 yang sebesar Rp 1.400 triliun. Padahal segmen dengan pertumbuhan tertinggi ada di Indonesia Timur dengan skala Ultra Mikro dan Mikro. Namun, sampai saat ini akses pendanaan masih terbatas di wilayah tersebut.

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Gawat! Nunggak Paylater Bikin Susah Cari Kerja & Beasiswa

(fsd/fsd)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts