– IHSG masih belum mampu bergerak banyak sejak 2018
– Diganggu sejumlah sentimen negatif, IHSG belum sanggup bergerak nyaman di level 7.000
– Sejumlah sentimen positif bisa membuat IHSG bergerak lebih jauh di 2023
Jakarta, CNBC Indonesia – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami jalan berliku sejak 2018 lalu. Bisa dibilang, selama 5 tahun belakangan IHSG masih bergerak di kisaran level yang tidak jauh berbeda.
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), dibandingkan dengan posisi 21 Februari 2018 (di angka 6.643), IHSG tumbuh hanya 3,68%. Pada penutupan Selasa (21/2/2023), IHSG berada di level 6.873,40.
Selama kurun waktu terakhir, pasar saham RI diwarnai sejumlah sentimen negatif dan positif.
Sentimen negatif yang menghantui pasar saham global sepanjang 2018 salah satunya soal kekhawatiran investor soal kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) The Fed terhadap kinerja perusahaan.
Pada 2018, aksi kerek suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat (AS) sebanyak 4 kali. Bursa global pun turun signifikan di tahun itu.
Menurut data Refinitiv, indeks Dow Jones ambles 6,89% selama 2018. Kemudian, S&P 500 merosot 9,15%. Indeks MSCI Global dan MSCI Negara Berkembang juga masing-masing terjungkal 9,39% dan 12,26%.
Sementara, IHSG sendiri ikut turun 2,54% sepanjang 2018 ditutup di 6.194. Padahal pada 2017 dan 2016 IHSG masih memberikan return 19,99% dan 15,32%.
Selain soal suku bunga, perang dagang AS versus China, serta kehebohan Brexit juga turut menekan bursa saham sepanjang 2018.
Tekanan selama 2018 terbilang masih terasa selama 2019. IHSG hanya naik 1,69% selama 2019.
Ini sebelum akhirnya Covid-19 menyerang sendi-sendi perekonomian global seiring negara menerapkan kebijakan pengetatan mobilitas.
Anjlok Saat Pandemi 2020
IHSG sempat mengalami masa gelap, yakni ketika anjlok sangat dalam sepanjang tahun 2020, tepatnya pada Maret 2020, seiring Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan virus corona sebagai pandemi.
Kala itu, IHSG yang mengawali 2020 di level 6.300, akhirnya meninggalkan level 6.000 pada akhir Januari hingga akhirnya terjun bebas hingga ke 3.937,63 pada 24 Maret 2020. Angka tersebut menjadi yang terendah setidaknya sejak 4 Juni 2012 ketika IHSG ditutup di 3.654,58.
Kecemasan akan perlambatan ekonomi global akibat wabah virus corona saat itu akhirnya membuat pelaku pasar melakukan aksi jual di bursa saham, dan masuk ke aset-aset yang dianggap aman (safe haven) seperti obligasi AS (Treasury) dan emas. Akhirnya, krisis kesehatan pun berubah menjadi krisis ekonomi.
Aktivitas dan mobilitas penduduk yang berkurang drastis sama saja dengan menghentikan roda ekonomi. Produksi terhambat, permintaan pun seret. Ekonomi terpukul di dua sisi sekaligus, supply dan demand.
Dari sinilah pandemi virus corona yang awalnya adalah masalah kesehatan menjelma menjadi krisis sosial-ekonomi. Hantaman pandemi membuat ekonomi dunia rontok, jatuh ke ‘jurang’ resesi untuk kali pertama sejak Krisis Keuangan Global 2009.
Tidak hanya Indonesia, pada 23 Maret 2020, indeks S&P 500 di Wall Street, Amerika Serikat (AS), menyentuh titik terlemah sejak 2016.
Pihak regulator, termasuk BEI pun, mengambil tindakan untuk mencegah amblesnya IHSG terlalu dalam.
Sejak Maret 2020, untuk menahan penurunan bursa saham domestik, BEI menerbitkan berbagai relaksasi seperti pelarangan transaksi short selling, pemberlakukan kebijakan penghentian perdagangan sementara selama 30 menit (trading halt) bila IHSG turun 5% dalam sehari, perubahan batasan auto rejection hingga mekanisme pre-opening.
Seiring dengan sejumlah kebijakan penanganan pandemi Covid-19 dan stimulus ekonomi yang diberikan pemerintah serta adanya sejumlah sentimen positif terutama di dalam ekonomi makro, IHSG perlahan keluar dari level terendah hingga akhirnya mengakhiri 2020 dengan ditutup di posisi 5.979,07.
2021 & 2022 Rebound, IHSG Galau di 2023
Seiring meredanya pandemi, IHSG rebound dengan melesat 10,08% selama 2021, ditutup di 6.581 pada 30 Desember 2021. Angka ini menandai kembalinya IHSG ke level prapandemi di tengah tema tapering off (pengetatan kebijakan moneter) The Fed yang terus menggaung di pasar.
Sementara, pada tahun lalu, di tengah iklim kenaikan suku bunga dan kecamuk perang Rusia-Ukraina, IHSG menguat ke 4,09%, peringkat kedua terbaik di kawasan ASEAN dan kesepuluh di dunia. Boom commodities menjadi penyelamat IHSG dari lautan merah bursa saham global di 2022. Hanya saja, di awal 2023, IHSG masih ‘galau’. IHSG baru naik 0,39% year to date (YtD)
Dana asing juga masih seret. Asing malah membukukan jual bersih (net sell) Rp198,64 miliar secara YtD. Investor asing diduga memilih pasar Asia dengan valuasi lebih murah dari IHSG, termasuk China hingga Taiwan.
Seturut dengan itu, IHSG masih belum kembali menembus level 7.000.
Informasi saja, IHSG sempat menyentuh level tertinggi sepanjang masa (ATH) harian pada 13 September 2022 di angka 7.318,02.
Aksi kerek suku bunga oleh The Fed masih membawa ketidakpastian di pasar tahun ini. Selain itu, normalisasi harga batu bara, yang menguntungkan RI sepanjang 2022, ikut meredakan euforia di pasar.
Namun, sentimen jelang tahun Pemilu 2024 dan prospek ekonomi makro domestik yang stabil berpeluang membuat IHSG menembus level 7.000 di akhir tahun nanti.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
IHSG Jatuh Lagi ke Bawah 7.000
(trp/trp)
Sumber: www.cnbcindonesia.com