Bankir Sebut Indonesia Masih Jauh dari Kata Digitalisasi

Jakarta, CNBC Indonesia – Kendati dewasa ini penerapan teknologi tepat guna terus berkembang melalui digitalisasi. Namun demikian secara umum mayoritas masyarakat Indonesia, terutama di pelosok-pelosok, masih jauh dari digitalisasi. 

Read More

Saat siaran tv analog dipaksa menjadi digital dengan bantuan set top box, masyarakat bisa dengan mudah mengikutinya. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku untuk kebiasaan transaksi keuangan.

Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) meyakini masyarakat Indonesia masih jauh dari kata digitalisasi karena masih banyak yang belum familiar.

“Maka saya kasih poin pentingnya digitalisasi ketika kita masuk ke mikro finance. Apakah masyarakat kita sudah sedemikian digital? Jawabannya belum karena belum semua,” tukasnya dalam CNBC Indonesia Economic Outlook 2023: “Menjaga Momentum Ekonomi di Tengah Ketidakpastian” di Jakarta, Selasa (28/2/2023).

Sebab itu, bank pencetak laba terbesar di NKRI ini mengadopsi konsep hybrid bank untuk melayani masyarakat yang sudah melek digital dan transaksi keuangan secara digital. Pun untuk melayani masyarakat yang belum terbiasa dengan konsep digital lewat kehadiran agen BRILink, yang jumlahnya sudah sebanyak 600 ribu agen.

“Sebelum bisa digital ya mereka nggak bisa konsumsi. Oleh karena itu digitalisasi di BRI untuk mengantisipasi satu masyarakat yang sudah digital. Mungkin anak-anak muda di urban itu sudah butuh. Tapi kalau semua kita full digitalkan produk kita, siapa yang menangani emak-emak di pelosok Tanah Air. Jadi kita tawarkan konsep hybrid bank,” terang Sunarso.

“Karena kita lihat pelaku usaha itu mereka sudah familiar gadget tapi pengetahuan tentang financial product terbatas. Mereka juga lebih memilih institusi finansial yang mereka sebut locally embedded. Karena mereka ada masalah lain jadi tidak stabil sehingga dia butuh lembaga keuangan yang locally embedded,” imbuhnya.

Setali tiga uang, Direktur Utama PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI), Hery Gunardi menjelaskan, di perbankan syariah pun mengalami hal serupa terkait dengan digitalisasi. Di mana transaksi-transaksi sederhana bisa digeser secara digital. Sementara yang kompleks dan tidak bisa diselesaikan online tetap nasabah ke cabang.

Dia menambahkan, bahwa perlu usaha cukup besar untuk mengedukasi masyarakat. Karena pada kenyataannya digitalisasi tidaklah mudah. “Jadi belajar dari history 18 juta customer, yang geser ke mobile baru 5 juta. Dari 5 juta yang aktif 50%,” ujarnya.

“Behaviour perlu dipahami, kalau semua physical tutup nggak mudah, ada layanan online on boarding sudah bisa mobile, tapi adopsi belum optimal,” tandasnya.

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Jos! BRI Kembali Raih Pengakuan Global Terkait ESG

(bul/rah)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts