Awal Perdagangan 2023, Bursa Asia Ditutup Gak Kompak

Jakarta, CNBC Indonesia – Bursa Asia-Pasifik ditutup bervariasi pada awal perdagangan tahun 2023, Selasa (3/1/2023), di tengah beragamnya rilis data ekonomi di kawasan tersebut.

Read More

Indeks Hang Seng Hong Kong ditutup melonjak 1,84% ke posisi 20.145,289, Shanghai Composite China melesat 0,88% ke 3.116,51, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir menguat 0,55% menjadi 6.888,76.

Sedangkan untuk indeks Straits Times Singapura ditutup turun 0,17% ke 3.245,8, ASX 200 Australia ambles 1,31% ke 6.946,2, dan KOSPI Korea Selatan melemah 0,31% menjadi 2.218,68.

Sementara untuk indeks Nikkei 225 Jepang pada hari ini belum dibuka karena masih libur, sehingga perdagangan perdana Nikkei di tahun 2023 akan terjadi besok.

Dari China, data aktivitas manufaktur berdasarkan purchasing manager’s index (PMI) periode Desember 2022 versi Caixin telah dirilis pada hari ini. Hasilnya kembali berkontraksi, yakni menjadi 49, dari sebelumnya pada November 2022 di angka 49,4.

Namun, angka ini lebih baik dari prediksi pasar sebelumnya yang memprediksi PMI manufaktur China akan berkontraksi menjadi 48,8.

Sebelumnya pada Jumat pekan lalu, PMI manufaktur China versi NBS turun menjadi 47, dari sebelumnya di angka 48 pada November. Ekonom dalam jajak pendapat Reuters memperkirakan PMI akan berada di 48.

Dengan ini, maka sektor manufaktur China masih berkontraksi. PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atasnya ekspansi.

“Pada bulan Desember, karena dampak epidemi dan faktor lainnya … kemakmuran ekonomi China secara umum menurun,” kata ahli statistik senior NBS, Zhao Qinghe dalam sebuah pernyataan.

Seperti diketahui, China selama lebih dari dua tahun memberlakukan kebijakan nol-Covid, yakni kebijakan ketat dalam upaya meredam kasus Covid-19, Kebijakan ini pun mencakup karantina ketat, penguncian wilayah (lockdown), dan pengujian massal, yang juga ikut berdampak pada ekonomi global.

Langkah-langkah tersebut menyebabkan penutupan pabrik, mengganggu rantai pasokan dan memaksa beberapa perusahaan tutup secara permanen.

Sementara itu dari Singapura, Ekonomi Singapura tumbuh 3,8% pada 2022, melambat tajam dari pertumbuhan 7,6% pada tahun sebelumnya.

Adapun, anjloknya pertumbuhan ekonomi tersebut sudah diperkirakan sebelumnya. Pemerintah sebelumnya memproyeksikan pertumbuhan hanya akan mencapai 3,5%.

Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Perdagangan dan Industri (MTI) Singapura, Selasa (3/1/2023), ekonomi Singapura tumbuh 2,2% secara tahunan (year-on-year/yoy), melambat dari pertumbuhan 4,2% yoy pada kuartal sebelumnya.

Perlambatan kuartal keempat terjadi akibat kontraksi 3% yoy dari sektor manufaktur utama. Ini merupakan pembalikan dari pertumbuhan 1,4% yoy pada kuartal sebelumnya.

MTI mengatakan output menyusut di klaster manufaktur elektronik, bahan kimia, dan biomedis, melebihi ekspansi di bidang teknik presisi, teknik transportasi, dan manufaktur umum.

Sektor konstruksi tumbuh sebesar 10,4% pada kuartal keempat, meningkat dari pertumbuhan 7,8% pada kuartal sebelumnya, karena output konstruksi sektor publik dan swasta terus pulih.

Di antara sektor jasa, perdagangan grosir dan eceran serta transportasi dan penyimpanan secara kolektif tumbuh 2,3% pada kuartal keempat, lebih lambat dari pertumbuhan 5,7% pada kuartal sebelumnya.

Secara bersama-sama, informasi dan komunikasi, keuangan dan asuransi, dan sektor jasa profesional meningkat sebesar 2,9% pada kuartal keempat, setelah ekspansi 3,6% pada kuartal sebelumnya.

Layanan akomodasi dan makanan, serta real estat, layanan administrasi dan dukungan secara kolektif tumbuh 8,2%, melanjutkan pertumbuhan 9,3% di kuartal ketiga.

Para analis pun mengatakan pertumbuhan global yang lesu telah mulai memukul ekspor barang dagangan dari Asia, menarik sektor manufaktur kawasan itu ke dalam wilayah resesi sehingga membebani prospek tahun ini.

Sebelumnya, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), Kristalina Georgieva memperingatkan bahwa 2023 akan menjadi tahun yang lebih berat bagi ekonomi global dibandingkan 2022.

“Kami perkirakan sepertiga ekonomi dunia akan mengalami resesi. Mengapa? Karena tiga ekonomi besar yakni Amerika Serikat, Uni Eropa, dan China, semuanya melambat secara bersamaan,” katanya, sebagaimana dikutip The Strait Times.

Dalam laporan World Economic Outlook terakhirnya, pertumbuhan global diperkirakan melambat dari 6 % pada 2021 menjadi 3,2% pada 2022 dan 2,7% pada 2023.

TIM RISET CNBC INDONESIA

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Bursa Asia ‘Ngenes’, Siap-siap IHSG Tongpes!

(chd/chd)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts