Jakarta, CNBC Indonesia – Mayoritas bursa Asia-Pasifik dibuka di zona merah pada perdagangan Senin (11/9/2023), di mana data ekonomi utama dari negara-negara besar akan menjadi pusat perhatian.
Per pukul 08:30 WIB, indeks Nikkei 225 Jepang melemah 0,31%, Hang Seng Hong Kong ambles 1,35%, ASX 200 Australia terkoreksi 0,24%, dan KOSPI Korea Selatan turun tipis 0,03%.
Sedangkan untuk indeks Shanghai Composite China naik 0,16% dan Straits Times Singapura menguat 0,17%.
Investor di Asia-Pasifik masih menimbang dampak dari kebijakan pembatasan penggunaan iPhone untuk pegawai di China.
Menjelang Apple merilis seri baru Iphone 15 dalam hitungan beberapa hari, yakni pada 12 September 2023, Presiden China Xi Jinping tersebut malah menetapkan kebijakan PNS dilarang menggunakan Iphone di lingkungan kerja, hal tersebut pertama kali dilaporkan Wall Street Journal (WSJ).
Meski tak diblokir secara nasional, tetapi kebijakan ini diramal akan berpengaruh pada penjualan iPhone. Sebab, China merupakan salah satu pasar yang berkontribusi paling besar ke bisnis Apple.
Dilaporkan Reuters, penjualan iPhone bisa anjlok hingga 10 juta unit gara-gara aksi pemerintah China. Erik W. Woodring, analis dari Morgan Stanley, memperkirakan pendapatan Apple bisa jatuh 4% akibat larangan di China. Adapun, profit Apple bisa merosot 3%.
“China faktor penentu kesuksesan Apple, tetapi Apple juga unsur penting dari ekonomi China. Meskipun ada potensi Apple dan China berpisah di dunia yang multi-kutub, kami tidak yakin berita ini bisa membuat skenario terburuk terjadi,” kata Woodring.
Aksi perang dagang antara dua negara adidaya tersebut masih menjadi persoalan sengit yang akan berlanjut pada pekan ini.
Di lain sisi, bursa Asia-Pasifik yang secara mayoritas dibuka melemah terjadi di tengah positifnya bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Pada Jumat pekan lalu, indeks Dow Jones ditutup menguat 0,22% pada akhir pekan lalu, sedangkan S&P 500 bertambah 0,14%, dan Nasdaq Composite naik tipis 0,09%.
Investor menanti rilis data inflasi AS yang diperkirakan bisa melonjak lagi akibat kenaikan harga minyak mentah akhir-akhir ini.
Kenaikan harga minyak mentah akan membuat inflasi AS sulit turun dan semakin menjauhi target bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) sekitar 2%. Dengan begitu, sikap bank sentral Negeri Paman Sam tersebut bisa semakin ketat.
Konsensus pasar dalam Trading Economic memperkirakan inflasi konsumen diperkirakan akan melonjak ke 3,6% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada Agustus 2023, dari bulan sebelumnya sebesar 3,2% (yoy).
Apabila inflasi konsumen naik sesuai perkiraan, ini bakal menjadi kenaikan kedua yang terjadi setelah mencapai titik terendah 3% (yoy) pada Juni lalu.
Sementara dari inflasi konsumen inti diperkirakan akan melandai ke 4,3% (yoy) pada bulan lalu, dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 4,7% (yoy). Kendati melandai, secara keseluruhan nilai inflasi konsumen masih jauh dari target The Fed di sekitar 2%.
Target inflasi tersebut nampaknya masih sulit untuk dicapai The Fed tahun ini, mengingat harga minyak mentah global yang masih lanjut naik akibat supply minyak yang ketat.
Selama sebulan terakhir hingga perdagangan yang berakhir 8 September 2023, harga minyak jenis Brent melesat 3,87% ke US$ 90,2 per barel, sementara harga minyak jenis light sweet West Texas Intermediate (WTI) melonjak 4,31% ke US$ 87,2 per barel.
Kenaikan harga minyak terjadi karena ketatnya pasokan yang terjadi akibat Arab Saudi, salah satu negara produsen minyak terbesar dunia yang tergabung dalam OPEC+ menyatakan akan melanjutkan pemangkasan produksi sekitar 1 juta barel per hari hingga akhir 2023.
Tak hanya itu, Rusia juga bakal memangkas sekitar 300.000 barel per hari hingga periode yang sama.
Pasokan ketat juga masih diwarnai kekhawatiran dari sisi permintaan, mengingat sikap bank sentral yang masih akan mengetatkan kebijakan dan kondisi ekonomi China masih lesu.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Bursa Asia Dibuka Loyo, IHSG Bakal Pesta Sendirian Lagi?
(chd/chd)
Sumber: www.cnbcindonesia.com