Alarm Bahaya AS dan China Menyala, Rupiah Diam di Tempat

Jakarta, CNBC Indonesia – Rupiah stagnan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pasca data ekonomi China yang mengalami kontraksi hingga cadangan devisa (cadev) Indonesia yang turun.

Read More

Dilansir dari Refinitiv, rupiah dibuka stagnan 0,00% terhadap dolar AS di angka Rp15.320/US$ pada hari Jumat (8/9/2023). Namun begitu di awal perdagangan, rupiah sempat melemah hingga Rp15.332/US$ dan pelemahan ini membuat rupiah semakin menjauhi level Rp15.300/US$.

Sementara indeks dolar AS (DXY) yang mengalami depresiasi di angka 104,86 atau turun dari hari kemarin yang ditutup di angka 105,06.

Kabar dari AS dan China yang memberikan kekhawatiran secara global hingga cadangan devisa (cadev) Indonesia yang turun menjadi sentimen utama penggerak rupiah hari ini.

Kemarin (7/9/2023), AS mengumumkan hasil jumlah pegawai yang mengajukan klaim pengangguran mencapai 216.000 pada pekan yang berakhir 2 September. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan ekspektasi pasar yakni 234.000 dan pekan sebelumnya yakni 229.0000.

Sedangkan beberapa hari lalu, AS melaporkan ISM Services PMI yang mengukur aktivitas bisnis non-manufaktur melonjak ke 54,5 pada Agustus. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan 52,7 pada Juli serta di atas ekspektasi pasar yakni 52,5.

Kedua data tersebut mencerminkan masih kencangnya ekonomi AS sehingga ada kemungkinan inflasi AS sulit diturunkan dalam beberapa waktu mendatang. Lebih lanjut, harapan bank sentral AS (The Fed) untuk melunak semakin menjauh.

Sedangkan dari China, kontraksi yang terjadi pada ekspor dan impor menjadi perhatian investor mengingat China merupakan negara tujuan ekspor terbesar Indonesia yakni sekitar 25% dari total ekspor Indonesia sehingga perkembangan ekonomi China akan sangat mempengaruhi perekonomian Indonesia.

China melaporkan ekspor yang kembali terkontraksi 8,8% (year on year/yoy) menjadi US$ 284,9 miliar pada Agustus 2023 sementara impor mereka terkoreksi sebesar 7,3% (yoy) menjadi US$ 216, 51 miliar.

Artinya, ekspor sudah terkoreksi selama empat bulan beruntun sementara impor terkontraksi selama enam bulan beruntun

Koreksi ekspor dan impor memang lebih rendah dibandingkan proyeksi pasar yakni 9,2% dan 14,5% dan lebih kecil dibandingkan pada Juli tetapi tetap mengundang banyak kekhawatiran. Bagi Indonesia, kontraksi pada impor bisa berdampak pada terus menurunnya ekspor ke China.

China adalah tujuan ekspor terbesar bagi Indonesia dengan kontribusi sekitar 24-25% sehingga perkembangan di Tiongkok akan sangat mempengaruhi Indonesia.

Jika impor China kembali terkontraksi maka hal tersebut harus menjadi warning bagi permintaan Tiongkok untuk produk Indonesia.
Ekspor ke China pun bisa turun lebih tajam.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor non-migas RI ke China pada Januari-Juli 223 mencapai US$ 34,86 miliar atau tumbuh 6%. Pertumbuhan tersebut jauh lebih rendah dibandingkan pada Januari-Juli 2022 sebesar 30%.

“Secara umum, ada perbaikan dari ekspor impor China tetapi perdagangan China diperkirakan akan menyentuh bottomnya beberapa bulan ke depan. Ini akan menghantam banyak sektor di China,” tutur Hao Zhou, analis dari Guotai Junan, dikutip dari CNBC International.

Beralih ke dalam negeri, kemarin pagi telah dirilis data cadangan devisa (cadev) yang mengalami penurunan menjadi US$ 137,1 miliar per akhir Agustus 2023. dari US$ 137,7 miliar pada akhir Juli 2023.

Pelemahan ini memberikan dampak negatif terhadap rupiah karena kemampuan BI dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah akan semakin berkurang dengan menurunnya angka cadev.

Kendati demikian, BI menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan dibuktikan dengan setaranya cadev Indonesia dengan pembiayaan 6,2 bulan impor atau 6,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

Rupiah juga melemah setelah China melarang penggunaan iPhone untuk pegawai pemerintah, pegawai BUMN dan lembaga. Larangan iPhone ini diharapkan membuat hubungan kedua negara memanas sehingga ketidakpastian global meningkat.

China dan AS belakangan makin sering memblokir teknologi satu sama lain. Mulai dari pemerintah AS yang memblokir TikTok, lalu terjadi saling blokir teknologi chip, hingga yang terbaru isu pelarangan iPhone di lingkungan pemerintahan Negeri Tirai Bambu.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

[Gambas:Video CNBC]



Artikel Selanjutnya


Rupiah Menguat ke Rp 14.750/USD, Efek Investor “Buang” Dolar?

(rev/rev)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts