5 Prediksi Ekonomi 2023, Cerah Apa Suram?

Jakarta, CNBC Indonesia – Sejumlah ekonom di dunia memproyeksikan bahwa dunia masih akan tetap menghadapi tantangan yang cukup berat pada 2023 mendatang.

Read More

Setidaknya terdapat lima ramalan ekonomi dunia pada 2023 seperti dikutip Al Jazeera, Sabtu (31/12/2022).

1. Inflasi dan Suku Bunga

Inflasi diproyeksikan akan mengalami penurunan secara global pada 2023. Meski begitu, angkanya masih tetap sangat tinggi,

Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan inflasi global akan mencapai 6,5% tahun depan, turun dari 8,8% pada 2022. Sementara, negara-negara berkembang diperkirakan akan mengalami penurunan inflasi yang lebih rendah, yakni menjadi 8,1% di tahun depan.

“Kemungkinan inflasi akan tetap lebih tinggi dari 2 persen yang ditetapkan sebagian besar bank sentral Barat sebagai tolok ukur mereka,” kata dosen ekonomi senior di Universitas Sheffield Hallam, Alexander Tziamalis, kepada Al Jazeera.

Sektor energi dan bahan baku diprediksi masih akan tetap mahal untuk beberapa waktu ke depan. Impor diprediksi lebih mahal, kemudian kekurangan tenaga kerja di banyak negara Barat menyebabkan produksi menjadi lebih mahal.

“Langkah-langkah transisi hijau untuk memerangi ancaman terbesar yang dihadapi kita semuanya mengarah pada inflasi yang lebih tinggi daripada yang biasa kita alami selama 2010-an,” jelasnya.

2. Resesi

Sementara pertumbuhan harga diperkirakan akan mereda pada tahun 2023. Namun pertumbuhan ekonomi diprediksi akan melambat tajam seiring dengan kenaikan suku bunga.

IMF memperkirakan ekonomi global akan tumbuh 2,7% pada 2023, turun dari 3,2% pada 2022. OECD memproyeksikan kinerja yang kurang tinggi tahun ini dengan pertumbuhan 2,2%, dibandingkan dengan 3,1% pada 2022.

Banyak ekonom lebih pesimistis dan percaya resesi global kemungkinan besar terjadi pada tahun 2023, hampir tiga tahun setelah penurunan yang disebabkan pandemi Covid-19.

Dalam sebuah tulisan bulan lalu, pemimpin redaksi The Economist, Zanny Minton Beddoes, melukiskan gambaran suram yang diringkas dengan judul artikel yang tegas: “Mengapa resesi global tidak terhindarkan pada tahun 2023”.

3. Pembukaan Kembali Perbatasan China

Setelah tiga tahun memberlakukan penguncian dan pengujian Covid-19 yang ketat, China awal bulan ini melonggarkan kebijakan nol-Covid yang kontroversial setelah mendapat protes publik. Dengan pembatasan ‘kejam’ di dalam negeri yang sudah berlalu, perbatasan internasional China akan dibuka kembali mulai 8 Januari.

Keputusan China melonggarkan pembatasan Covid-19 seharusnya memberikan momentum baru ke dalam pemulihan ekonomi global. Rebound permintaan konsumen China akan memberikan dorongan bagi eksportir utama seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Singapura.

Sementara, berakhirnya pembatasan telah membantu merek global dari Apple hingga Tesla yang mengalami gangguan berulang kali di bawah kebijakan nol-Covid. Pada saat yang sama, perubahan cepat ini juga memberikan dampak resiko yang cukup tinggi.

Saat ini, rumah sakit di seluruh China telah dibanjiri pasien. Selain itu, kamar mayat dan krematorium dilaporkan kewalahan dengan masuknya jenazah.

Beberapa ahli medis memperkirakan bahwa China dapat melihat hingga 2 juta kematian dalam beberapa bulan mendatang. Selain itu, para ahli juga menyatakan keprihatinan tentang munculnya varian baru yang lebih berbahaya.

4. Kebangkrutan Massal

Terlepas dari kehancuran ekonomi yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19, kebangkrutan sebenarnya mengalami penurunan di banyak negara pada tahun 2020 dan 2021. Ini terjadi lantaran kombinasi pengaturan di luar pengadilan dengan kreditur dan stimulus pemerintah yang besar.

Di AS, misalnya, 16.140 bisnis mengajukan kebangkrutan pada tahun 2021, dan 22.391 bisnis melakukannya pada tahun 2020. Ini lebih rendah dibandingkan dengan 22.910 pada tahun 2019.

Namun, tren itu diperkirakan akan kembali berbalik pada tahun 2023 di tengah kenaikan harga energi dan suku bunga. Allianz Trade memperkirakan bahwa kebangkrutan secara global akan meningkat lebih dari 10% pada tahun 2022 dan 19% pada tahun 2023, melampaui tingkat sebelum pandemi.

“Pandemi Covid memaksa banyak bisnis untuk mengambil pinjaman besar, memperburuk situasi ketergantungan yang meningkat pada pinjaman murah untuk menutupi hilangnya daya saing Barat karena globalisasi,” kata Tziamalis.

5. Globalisasi Terganggu

Sejak di bawah kepemimpinan Trump, perang perdagangan dan teknologi antara AS dengan China semakin dalam di bawah Presiden AS Joe Biden.

Pada Agustus, Biden menandatangani CHIPS dan Science Act yang memblokir ekspor chip canggih dan peralatan manufaktur ke China. Ini bertujuan menghambat perkembangan industri semikonduktor China dan memperkuat swasembada dalam pembuatan chip.

Pengesahan undang-undang tersebut hanyalah contoh terbaru dari tren yang berkembang dari perdagangan bebas dan liberalisasi ekonomi menuju proteksionisme dan swasembada yang lebih besar, terutama di industri kritis yang terkait dengan keamanan nasional.

Dalam pidato awal bulan ini, Morris Chang, pendiri Perusahaan Manufaktur Semikonduktor Taiwan (TSMC), produsen chip terbesar di dunia, menyesalkan bahwa globalisasi dan perdagangan bebas telah berada dalam tahapan yang hampir mati.

“Barat, dan khususnya AS, semakin terancam oleh lintasan ekonomi China dan merespons dengan tekanan ekonomi dan militer terhadap negara adikuasa yang baru muncul itu,” kata Tziamalis.

“Perang langsung atas Taiwan sangat tidak mungkin tetapi impor yang lebih mahal dan pertumbuhan yang lebih lambat untuk semua negara yang terlibat dalam perang dagang ini hampir pasti,” tegasnya.

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Ketakutan Resesi Dimana-mana, Saham Hingga Minyak Terkapar

(hsy/hsy)


Sumber: www.cnbcindonesia.com

Related posts